Aku Tidak Jatuh Cinta

Nine
Chapter #16

Keputusan Eyang

Semalaman aku tidak bisa tidur, aku gelisah memikirkan apa yang harus kulakukan selanjutnya. Pagi-pagi sekali, aku melihat seseorang yang di tugaskan oleh Eyang untuk mengatur undangan datang ke rumahnya, hanya sebentar dia singgah lalu pulang lagi.

Beberapa saat kemudian, Eyang juga turun dari rumah dengan berpakaian rapi. Dia bersama Simla. Pembicaraan kemarin sia-sia?

Eyang menghampiriku yang sedang duduk di teras. Menatapnya dengan tatapan lesu, meminta kelonggaran dari segala aturan yang dia punya.

Eyang sudah di hadapanku.

“Panggil ayahmu.” Katanya, aku menurutinya.

Menit berikutnya ayah telah bergabung bersama kami.

“Antar kami ke rumahnya Alam.” Kata Eyang pada ayah, ayah mengangguk.

Aku dan Simla hanya saling menatap tanpa kata. Dengan tatapan mata yang mengisyaratkan kepedihan.

Lalu Eyang menatapku dengan penuh makna. Sebenarnya, aku ingin sekali membenci perempuan tua ini, tapi tidak bisa. Dia calon mertuaku!

Eyang menghela napasnya. “Kau dan Simla di sini saja, jangan kemana-mana sampai kami kembali.” Katanya padaku.

Aku dan Simla saling menatap bingung tapi kemudian sama-sama mengangguk. Ayah dan Eyang meninggalkan kami berdua. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, apa yang sedang Eyang rencanakan, tapi ... jika satu hari sebelum hari pernikahan Eyang belum merubah keputusannya, aku akan melakukan sesuatu yang paling ke kanak-kanakkan—yang akan memaksa pihak manapun untu membatalkan pernikahannya. Tentu sajam rencana ini kusimpan hanya untuk diriku sendiri.

Desanya Alam lumayan jauh dari desa kami, jadi, ayah dan Eyang akan lama baru kembali dari urusannya yang tidak kami ketahui. Aku dan Simla duduk menunggu tanpa banyak bicara, khawatir—bisa saja tanggal pernikahan dipercepat, atau lebih buruk lagi—dilaksanakan hari ini.

Gila. Aku sepertinya akan gila. Kepalaku hampir mau meledak. Selama belasan tahun di dalam hidupku, aku kebosanan. Aku berharap ada masalah dan sedikit guncangan dalam hidupku sehingga aku bisa bergairah menjalaninya. Tapi bukan yang seperti ini yang kuharapkan. Itu terlalu banyak guncangan, bebannya terlalu berat untuk pengetahuanku yang masih amat sedikit.

Aku dan Simla telah duduk selama lebih dari dua jam, menunggu ayah dan Eyang kembali, ketika mobilnya terlihat, memasuki halaman rumah.

Lihat selengkapnya