Aku Tidak Jatuh Cinta

Nine
Chapter #17

Kekacauan yang Tidak Terkendali

Sebuah mobil avanza melewati kami, memasuki desa—hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya, karena tidak ada yang punya mobil sejenis itu di desa kami. Aku dan Simla menatapnya, takjub. Ini seperti keajaiban.

Mobil itu tiba-tiba berhenti, setelah beberapa meter melewati kami. Lalu berjalan mundur dan berhenti untuk kedua kalinya, tepat di depan kami. Kaca mobilnya diturunkan dan—Latika. Aku dan Simla menatap Latika, tanpa sepatah katapun.

Simla syok, tapi tidak sedahsyat yang aku rasakan. Aku yang baru sampai di langit, dilempar kembali ke bumi—dengan kasar, menyadarkanku kepada kenyatan bahwa, masih belum selesai. Masalahnya belum selesai.

AAAAAAAAA!

Aku ingin mati.

Tapi dengan Simla.

Tidak mau meninggalkan dia sendirian.

Tapi akan katahuan, kalau aku sedang… selingkuh.

Aku merasa sangat bejat, bisa-bisanya memacari dua gadis secara bersamaan, padahal masih belum berpengalaman—bukan itu maksudku.

***

Raka menurunkan barang-barangnya dari atas mobil, begitu pula dengan kak Adi dan Latika. Mereka menaikkannya di atas rumahku, aku dan Simla hanya memperhatikan dan sedikit mengarahkan—tanpa banyak bicara. Kami berdua masih syok, dengan pikiran kami masing-masing.

Mereka, datang untuk berlibur, katanya. Yah, kami memang sudah selesai ujian ketika aku meninggalkan sekolah dan memutuskan ke desa—tapi bagaimana dengan kak Adi? Kuliahnya?

Selain itu, kenapa memilih tempat ini untuk berlibur? Tidak ada bagusnya dan, kenapa membawa Latika? Itu masalahnya, Latika. Latika adalah masalahku—sekarang.

Aku harus bagaimana?

Padahal baru mengatakan akan menikahi Simla, sudah berjanji tidak akan membuat Simla menangis lagi. Tapi, jika dia muncul seperti ini, Eyang akan membunuhku—begitu pula Simla.

Setelah menyapa kakak-kakak tiriku—dan mengabaikan Latika, Simla menatapku. Mengisyaratkan bahwa “kita harus bicara”.

Mati aku. Tapi tentu saja, aku harus bicara dengan Simla terlebih dahulu—baru mengurus Latika.

Simla membantuku, menyambut tamu-tamuku. Dia membawa masuk barang-barang ke dalam kamarku—juga sedikit merapikan kamarku. Aku meliriknya sekilas, berharap dia tidak akan berbuat yang aneh-aneh, mengatakan yang aneh-aneh dan—semoga aku selamat dalam situasi ini.

Kusiapkan makan malam untuk tamu-tamuku, makan malam seadanya. Mereka pasti sangat lapar, telah menempuh perjalanan lebih dari enam jam—ditambah sedikit tersesat, katanya. Simla, ikut makan malam bersama kami, lagi pula, Eyang sedang tidak di rumah—dia pergi entah ke mana, aku tidak terlalu peduli.

Simla mengunyah makanannya, dalam diam. Tidak biasanya. Aku sadar, akhir-akhir ini dia memang banyak diam, kenapa ya? Padahal, masalahnya sudah diselesaikan. Apa mungkin, dia punya pendeteksi masa depan yang mengatakan bahwa aka nada masalah besar? Sementara itu, Raka dan kak Adi bergantian melirik Simla, tidak sopan. Aku tidak suka. Tapi tidak bisa kularang, tidak bisa kukatakan, “Simla pacarku.” Ada Latika.

“Ah, ngomong-ngomong Simla, saat kau mengunjungiku di kota—” Kataku, mencari topik pembicaraan sebelum topik yang tidak kuinginkan muncul. “Kau tidak bertemu dengan kak Adi.”

Lihat selengkapnya