Aku meninggalkan Latika sendirian, berlari dengan tergesa-gesa mencari Simla. Di mana dia, di saat seperti ini.
Simla… Simlaku. Apa yang telah kuperbuat kepadamu? Kenapa aku tiada hentinya menyakitimu? Dan kenapa tidak mengatakan apapun? Kenapa tidak membunuhku saja ketika kau mendengarnya?
Ketemu.
Simla sedang di dalam air bersama Raka. Memegang jaring dengan susah payah, tanpa seekor ikanpun yang berhasil mereka tangan. Aku menceburkan diriku begitu saja ke dalam air, mendekati Simla dan Raka yang menyadari kehadiranku, tapi tidak peduli.
Aku menepuk pundaknya Raka, dia berbalik menatapku.
“Apa?”
“Kak Adi memanggilmu.” Kataku berbohong. “Katanya sangat penting.”
Raka menatapku tidak percaya, tapi aku memohon padanya dengan tatapan mataku yang gelisah bercampur sedih. “Kumohon, biarkan aku dengan Simla.” Bisikku. Baruslah dia melepas jaringnya, meninggalkan kami berdua.
Aku terdiam, menunggu Raka menghilang dari pandanganku.
“Aku tidak tahu ternyata seseulit ini menangkap ikan dengan jaring.” Gumam Simla pelan.
“Mau kuajari? Aku pernah melakukannya bebarapa kali dengan ayah.”
“Baiklah. Bagaimana?”
Aku mendekatinya, berdiri di belakangnya, lalu memegang tangannya. “Pengang dengan kuat, seperti ini.” Kataku, menggenggam tangannya yang memegang jaring sembari menyandarkan kepalaku di pundaknya. Simla menarik napasnya.
“Kurasa, pelajarannya akan sulit dimengerti jika seperti ini.” Ucap Simla polos, aku tertawa pelan. “Dan kupikir bahwa Venus hanya ingin memelukku.”
“Ya, aku memang.” Kataku jujur. Jantungku bergetar. Darahku berdesir, tapi juga gelisah.
Kami berdua terdiam, beberapa detik.
“Aku…” Kami mengucapkannya secara bersamaan.
“Kau duluan.” Kata Simla. Ya, memang harus aku yang duluan.
“Aku adalah orang brengsek.” Akuku. Semua yang kulakukan selama ini, sejak dulu, hal-hal buruk yang terjadi pada Simla, itu semua karena aku brengsek. Aku pengecut dan bodoh.
“Ya, aku tahu.”
Tapi aku jadi tidak setuju jika Simla mengatakannya seperti itu.
“Tapi kenapa tidak pernah mengatakan apapun? Kenapa tidak membenciku?”
“Karena terlalu menyukaimu. Sudah tidak ada ruang untuk benci. Aku menganggapmu menyelamat hidupku, kau datang di saat aku menjadi orang lain, hampir tidak mengenali diriku lagi. Waktu dulu, aku sedang terpuruk. Kedua orang tuaku meninggal, begitu juga dengan kakek—orang yang paling kusayang. Aku tidak tahan hidup dengan semua aturan Eyang, dia sudah seperti itu sejak aku mampu mengingat, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu kau datang memberi harapan baru, membuatku lebih berani untuk mengutarakan apa yang kuinginkan. Dan ada Simla yang seperti saat ini, itu semua karena Venus.”
“Yah, Simla yang kacau.” Kataku bercanda. Dia menyiku perutku. Melepaskan diri dariku, juga jalanya. Simla keluar dari air sementara aku kerepotan membawa jalanya dan juga mengejarnya.