Aku Tidak Jatuh Cinta

Nine
Chapter #20

Tempat di Mana Kita Menemukan Kebahagiaan

Raka, kak Adi dan Latika telah pulang. Mereka hanya tiga hari di sini, waktu telah berlalu cukup lama sejak kedatangan mereka. Aku dan Simla kembali seperti dulu, bermain, bermain dan bermain. Sesekali belajar, hanya sesekali—persiapan untuk kuliah. Karena Simla juga ingin melakukannya, kuliah. Entah Eyang akan mengijinkan atau tidak, tapi tetap harus mencobanya. Karena, memangnya apa yang akan dia lakukan jika tidak kuliah? Bekerja, sedikit tidak mungkin. Eyang lebih benci gagasan itu dari pada kuliah, karena Simla adalah perempuan. Begitu menurutnya.

Meskipun kami hanya bermain sepanjang hari, kami tidak pernah bosan melakukannya. Karena, setiap hari selalu terasa berbeda. Jantungku yang terus berdetak hidup, setiap saat. Itu adalah yang kucari selama ini, sesuatu yang bisa membuatku bersemangat.

Di waktu lalu, aku telah salah mengartikan apa yang kuinginkan. Kupikir, itu ada di tempat yang sulit kujangakau. Padahal kebahagiaan itu ada di sini, sangat dekat denganku. Aku tidak menyadarinya, hampir terlambat. Itulah kenapa, dalam waktu yang sangat lama aku hidup dalam kegelisahan.

Aku telah mencari kebahagiaan di tempat lain, bukan menemukannya tapi malah kekosongan yang kudapatkan. Lihatlah kekacauan yang terjadi akhir-akhir ini, itu semua karena kebodohanku. Aku butuh waktu yang lama untuk menyadarinya, bahwa kebahagiaan itu tidak dicari di luar diri kita, tapi di dalam. Tergantung bagaimana cara pandang kita terhadap dunia, jika buruk kita kesusahan, tapi jika baik, semuanya jadi tampak indah.

Lihatlah Simla. Dulu sekali, di mana saat aku masih menjadi orang terbodoh sedunia, dia tampak seperti monster bagiku. Menghisap darah dan memakan dagingku. Menghancurkan hidupku dan membuatkan selalu ingin melarikan diri, darinya.

Tapi sekarang, ketika aku membuka mataku lebar-lebar, dia telah menjadi makhluk terindah di dunia. Aku selalu ingin dengannya, bersamanya. Jika terpisah, mungkin akan seperti kehilangan oksigen. Semoga tidak, karena sebentar lagi aku harus ke kota, melanjutkan sekolah dan Simla tidak bisa ikut denganku, dia juga harus sekolah.

Aku gelisah.

Aku tahu aku akan mengunjunginya setiap hari minggu, tapi tetap saja, satu minggu adalah waktu yang lama dan satu hari terlalu singkat untuk melepas rindu.

Haruskah aku mengusulkan pada Eyang untuk memindahkan sekolahnya Simla ke kota?

Dia tidak akan menyetujuinya, 89% aku yakin.

Kutatap Simla yang sedang merangkai rumput-rumput di sampingku.

“Kau mau pergi denganku?” Tanyaku.

“Ke mana?” Tanyanya, tanpa mengalihkan pandangannya.

“Ke kota?”

“Kapan? Berapa lama?”

“Setelah liburan usai, selamanya.”

Lihat selengkapnya