Aku Tidak Sedang Menulis Cerita Ini Saat Ia Tertembak Kepalanya

Restu Ashari Putra
Chapter #1

Cerita-cerita yang Sampai Kepada Rustam

Rustam membolak-balik buku catatannya yang sudah penuh data-data hasil wawancara dengan Sunarti, perempuan berusia hampir 70 tahun itu menjadi fokus perhatiannya akhir-akhir ini. Sejak diterimanya bundel naskah novel misterius di kantor tempat ia bekerja sebagai jurnalis, nama yang tertera di selembar kertas kosong yang ada di dalam amplop coklat itu membawanya pada perjalanan panjang.

Ia akhirnya berhasil menemui si pengirim naskah novel itu yang memintanya diwawancara. Rustam menemui Sunarti bersama di salah satu rumah di Kampung Salak yang jauh dari keramaian.

Wajahnya tidak terlihat menyimpan masa lalu yang kelam. Senyum yang terus menerus mengembang melenyapkan usia yang sudah menggerusnya. Tapi mungkin ini pertama kalinya ia akan melepas semua beban hidup yang selama ini ditanggungnya. Sunarti mempersilakan Rustam menyeruput teh manis hangat yang baru saja disuguhkannya di meja. Ia hidup hanya bersama seorang remaja perempuan yang diaku sebagai keponakannya. Sekar namanya. Yang membersamai dan menjaganya puluhan tahun.

“Jadi bagaimana ibu bisa selamat dari kejaran pemerintah?” tanya Rustam setelah menyeruput teh manis hangat suguhan Sunarti. Lumayan segar setelah seharian mencari alamat dan diterjang hujan di tengah jalan.

Lalu mulailah cerita-cerita itu meluncur dari lisannya yang sudah tak sabar ingin dimuntahkan ke hadapan Rustam. Cerita-cerita yang kelak bakal juga menjadi akhir yang kelam bagi Rustam.

SUNARTI: Apa salahnya aku menolong orang yang sedang dizalimi. Aku tak pernah melihat apa agama dan isi kepalanya. Siapa pun yang tertindas bahkan meski ia maling sekalipun, akan tetap aku tolong jika ia tidak mendapat keadilan. Apa yang lebih penting selain dari keadilan?

Jika karena melawan kezaliman dan menentang ketidakadilan aku harus disebut kiri, maka aku adalah kiri. Atau apa pun istilahnya. Aku tak peduli pada nama-nama.

Abah tidak pernah mempermasalahkanku untuk bergaul dengan siapa pun. Termasuk ketika aku berhubungan dengan Tohari. Ia lelaki baik dan mandiri. Di masa kekuasaan yang bisa berbuat apa saja atas nama ketertiban, sebenarnya aku tidak terlalu mempermasalahkan kondisi yang aku lalui. Namun kehidupan Tohari ternyata memang kerap selalu bersinggungan dengan kekuasaan. Padahal apa-apa yang dilakukannya sebagai sesuatu yang normal dan alamiah. Ia menulis apa-apa yang ditemuinya di kehidupan sehari-harinya. Pekerjaannya sebagai pegawai biasa di percetakan besar kota ini pun seringkali hampir-hampir kandas lantaran ya itu tadi, Tohari seringkali menulis isi kepalanya dan disebarkan ke orang banyak. Maklum setelah tahu bagaimana tulisan bisa dicetak dan dibagikan terbatas, Tohari jadi keranjingan membikin sendiri buletin-buletin kecil untuk menumpahkan kekesalannya. Alih-alih ia menjadi semacam pekerja media. Apa boleh buat, menulis di media massa lokal yang ada di kota ini juga tidak bisa. Dari lima surat kabar, hanya satu yang bisa sedikit lebih berani kepada pemerintah, dan itu pun baru-baru kemarin kantornya ditutup setelah sempat digeruduk satu ormas. Sisanya, surat kabat cuma berisi penyuluhan dan kerja bakti warga. Itu saja syukur masih bisa hidup karena mengandalkan duit APBD yang sengaja dialokasikan buat surat kabar lokal. Setidaknya karyawan bisa digaji dan nyicil sepeda motor alih-alih hidup sejahtera.

Karena itulah, akum akin simpatik sama Tohari. Belakangan makin sering ia mampir ke rumahku untuk memberikan dua eksemplar buletin yang ia tulis suka-suka semaunya. Ia tak mematok kapan harus mencetak buletin yang ia tulis. Ia tak menentukan kapan tulisan kecilnya itu harus terbit.

“Narti, ini satu kasih abahmu ya.” ujarnya sambil mengeluarkan dua lembar buletin dari plastik yang diambil dari tas cangklongnya.

“Iya mas, nanti aku kasih ke abah,”

Sebenarnya aku sempat ragu pertama kali Tohari minta Abahku baca buletin ini. Tapi ia terus mendesak dan tak peduli apa pun reaksi Abah. “Berikan saja dulu, dik. Apa sih yang dikhawatirkan dari respon abahmu, paling-paling kalau tak setuju ya ngedumel,” katanya.

Yang kukhawatirkan bukan reaksi Abah pada tulisanmu, Mas, tapi reaksi Abah kalau kita tak bisa lagi bertemu gara-gara buletinmu. Aku hanya bisa memendam perasaan itu dalam hatiku sendiri. Jujur, aku memang menyukai Tohari. Tapi untuk soal perasaan ini aku belum berani mengutarakan apa pun padanya. Dia lelaki yang mandiri dan bebas, aku takut malah nanti juga merusak hubunganku yang selama ini sudah baik dengannya. Aku takut dia malah menjauh hanya karena tindakan bodohku ini.

Abah sendiri mulanya khawatir juga ketika membaca buletin-buletin Mas Tohari. Tapi akhirnya aku lega ketika suatu pagi ia mengatakan dengan amat takjub. “Orang seperti Tohari mesti dijaga, orang seperti dia itu anugerah sekaligus bahaya bagi siapa pun yang di dekatnya. Tapi abah salut.” Begitu kata Abah sambil menasehatiku agar berhati-hati. Maklum aku anak perempuan satu-satunya Abah, sebab dua kakak lelakiku sudah berkeluarga dan merantau ke kota lain.

Aku tersenyum senang mendengar ucapan Abah, sekaligus khawatir.

“Oh iya, dik, aku sedang ingin menulis cerita novel, tapi aku masih ragu menyusunnya.” ujar Tohari.

“Loh kenapa, Mas?”

“Ini bisa lebih bahaya dari tulisan-tulisanku di buletin yang tak seberapa, dengan modal seadanya dibagikan terbatas,”

“Memang kalau Novel ada yang mau nerbitkan Mas? Bukankan tulisan Mas saja di koran tak ada yang mau muat,”

“Nah ini persoalannya, kebetulan ada satu penerbit yang menawariku menulis fiksi tentang kekuasaan, ia berani menerbitkannya dengan syarat aku menggunakan nama pena atau samara.”

Keinginannya itu semakin membuatku khawatir. Pernah satu kali setelah beberapa kali mencetak tulisannya di buletin, Tohari diminta datang ke Markas Militer malam-malam. Ia menceritakan kalau sepanjang malam itu ia tidak ditanyai macam-macam, kecuali hanya satu permintaan: berhenti mencetak, atau ia harus menulis sesuatu yang positif di dalamnya. Tohari menuruti permintaan sang komandan militer. Namun ternyata itu hanya siasat Tohari agar bisa terus menerbitkan tulisannya. Jadilah ia selama sepekan tiga kali mencetak tulisan berisi positif dan dikirimkan ke markas militer untuk sekadar sebagai bukti permintaan mereka dikerjakan. Tapi setelah itu ia kembali menuliskan keresahannya dengan cara sedikit memperhalus tulisannya. Ia pun semakin berhati-hati menyebarkan buletinnya.

Lihat selengkapnya