Aku Tidak Sedang Menulis Cerita Ini Saat Ia Tertembak Kepalanya

Restu Ashari Putra
Chapter #2

Cerita-cerita yang Mengganjal di Kepala Rustam

Rustam menghela napas. Sambil sesekali ia menyapu pandangan ke sekeliling, ia menatap lagi ibu tua di hadapannya itu.

“Maaf, sejak pertemuan terakhir dengan suami itu, ibu belum menikah lagi?”

“Ia lelaki yang sulit kucari penggantinya, hatiku nyaris mati melihat sosok lelaki lain, yang tangguh dan mandiri menghadapi tekanan apapun. Di zaman seperti ini, semua orang telah menjadi anjing. Tampak berani, tetapi mudah tunduk.”

Rustam sedikit tersenyum namun getir mendengar Sunarti menumpahkan unek-uneknya itu.

“Oh iya, kamu sudah menamatkan novel yang kukirim itu kan?” tanyanya lagi. Pertanyaan itu kuingat sudah tiga kali ia tanyakan, mustahil ia pelupa, tapi sepertinya ia ingin banyak menegaskan seolah Rustam mesti mengkhatamkannya.

“Belum bu, belum. Aku baru baca separuhnya. Ada beberapa bagian yang mesti kutanyakan pada ibu,”

“Ya, ya, aku tahu itu, aku sudah menduga kau pasti banyak menyimpan pertanyaan. Novel itu ditulis suamiku di saat-saat genting suasana 30 tahun lalu. Di mana aku sendiri baru menyadarinya novel yang ia tulis banyak menyimpan keterangan yang barangkali bisa menjadi ancaman bagi siapapun yang menerimanya.”

“Mengapa ibu mengirimnya kepadaku?

“Satu-satunya pertimbanganku adalah karena aku mendengar kabar surat kabar tempatmu bekerja akan ditutup kan,”

“Ya, pertimbangan ekonomi,”

“Nah, karena itulah sengaja kukirimkan novel ini agar bisa menjadi bahan apapun yang bisa kaumuatkan, paling tidak di edisi terakhir koranmu itu.”

“Terus terang sebelumnya saya tidak punya cukup waktu bu, tapi baru sebagian saya baca jujur saya saya menyimpan penasaran yang penuh atas isinya.”

Rustam kemudian mengambil draft novel itu yang masih belum diberi judul dari dalam tas untuk sekadar melihatnya kembali. Sunarti memanggil keponakannya lagi untuk menyuruhnya membelikan makanan. Rustam mendengarnya, lalu buru-buru ia mengambil uang dari dalam saku celananya.

“Eh tunggu, mau beli makanan ya. Ini dari saya saja, sekalian saya nitip dibelikan gorengan, enggak apa-apa ya.”

Sunarti sempat menolak tapi akhirnya menerima uang dari Rustam, lalu diberikan kepada Sekar. Keponakannya pun langsung mengerti sambil masuk ke dalam kemudian keluar kembali mengendari motor dengan lincah membeli makanan yang dipesan.

“Umur berapa bu keponakannya?”

“Sebentar lagi mau SMA, dia ikut saya sejak dari SD, putri dari adik suamiku yang meninggal akibat kecelakaan, lantas aku meminta izin keluarga besarnya untuk mengasuh dan membesarkannya. Mereka tahu aku hidup sendiri. Sampai sekarang kami masih komunikasi.”

“Oh ya ya… Oke, jadi ibu sama sekali tidak ada keinginan untuk menghubungi kembali penerbit yang dulu bersedia menerbitkan karya suami ibu?”

“Sejak suamiku tiada, aku sudah tidak berhasrat lagi untuk mengulik apapun yang berhubungan dengan suami. Karena itu hanya akan mengembalikan memori kenanganku bersamanya. Hatiku masih belum bisa beranjak dari kehidupannya.”

“Mengapa ibu khusus mengirimnya pada saya? Apakah ibu mengenal saya?”

“Aku membaca kolom-kolommu tiap pekan. Aku merasakan getar tulisanmu. Dan tiap kali aku usai membaca tulisan-tulisanmu, entah mengapa rasanya aku harus mengirimkan draft novel ini kepadamu, sampai akhirnya mendengar kabar akan berakhirnya perusahaan koranmu itu, keputusanku itu semakin bulat mengirimkannya kepadamu. Novel itu tidak akan berbahaya apa-apa bagi siapapun yang tidak membacanya. Ia tak lebih dari lembar-lembar kertas biasa. Tidak ada juga selama ini yang mencari-cari tahu apa isinya. Yang pertama kali tahu naskah novel itu adalah aku, juga suamiku.”

Namun bagi mereka yang benar-benar membacanya, maka sesuatu yang selama ini tabu dan dirahasiakan akan terbuka semuanya. Tentu data-data di dalamnya harus dikorscek kembali, karena siapa yang akan percaya pada naskah fiksi, kecuali ia benar-benar datang dari orang yang paling dipercaya. Atas dasar itulah aku mengirim ini kepadamu.”

Rustam menghela napas panjang lagi. Pandangannya kembali membuka-buka lembaran naskah novel setebal 200 halaman itu di tangannya. Ia membaca sekilas-kilas halaman yang ada di depannya.

TOHARI: Aku terkejut mendengar cerita dari Habibah Ulya. Betapa liciknya kades Sarbini. Ia merekayasa seolah-olah Habibah hendak mengubah dasar negara ini dengan melakukan pemberontakan. Satu-satunya alat agar tudingan itu berdasar adalah mengadu domba gerakan perlawanan Habibah dengan kelompok pemuda masjid desa yang sangat anti kekerasan. Islam, dalam pandangan pemuda masjid desa tidak mengenal pemberontakan apalagi menggunakan cara-cara kekerasan. Mereka menganggap Habibah telah melakukan tindakan provokatif agar warga memberontak pada pemerintah desa untuk menolak pembangunan kawasan wisata.

Padahal kekerasan seperti apa yang dilakukan Habibah. Ia hanya mengorganisir warga yang hak-haknya direbut untuk sekadar bisa bersuara dan mengatakan tidak. Maka sejak itulah para warga yang kebetulan petani itu merasa bisa melawan.

“Bapak-bapak, ibu sekalian, kekuatan apa pun tidak akan berarti apa-apa kalau kita bergerak sendiri-sendiri. Inilah pentingnya kekuatan jamaah, sesungguhnya kita mampu melawan dengan berani kalau kita bergerak berjamaah. Kita punya kekuatan besar untuk melawan rencana pembangunan yang menzalimi warga di kampung ini!”

Habibah dalam satu kesempatan tampak menggebu-gebu menyemangati warga desa untuk menolak tawaran pemerintah melepas tanah sebagian mereka agar bisa dijadikan proyek kawasan wisata.

Lihat selengkapnya