Aku Tidak Sedang Menulis Cerita Ini Saat Ia Tertembak Kepalanya

Restu Ashari Putra
Chapter #3

Pertanyaan-pertanyaan Tanpa Jawaban

“Sebenarnya apa yang paling dirahasiakan dari cerita-cerita ini, bu?” tanya Rustam. “Aku perlu sesuatu yang istimewa untuk kutulis selain dari perlakuan penguasa saat itu. Laporan terakhirku ini akan jadi sia-sia jika tidak ada sesuatu yang mesti diungkap.”

Rustam benar-benar terus menggali, apakah ada sesuatu yang paling dirahasiakannya sebelum ia benar-benar memutuskan apakah harus melanjutkan reportase ini atau tidak.

Sunarti mengubah posisi duduknya. Dibetulkannya kain kerudungnya, tampak tangannya sedikit gemetar tatkala menggenggam ujung-ujung kainnya itu.

“Itu tidak mungkin kuceritakan secara langsung. Kau harus membaca detil naskah novel itu sampai pada kata terakhirnya. Kau akan menemukan poin pentingnya. Mana bisa kalau kau baru membaca separuhnya, dengan tergesa pula.”

“Aku selalu menilai sebuah karya dari kalimat pembukanya. Sebab bagiku itu adalah gerbang. Dan karena keterpesonaanku pada kalimat pembuka di naskah novel inilah yang membuatku tertarik mengetahui lebih jauh. Tapi tentu aku tidak menjadi jaminan bahwa ini akan menjadi bahan laporan di edisi terakhir koranku,”

“Baik, sekarang jawab pertanyaannku, bagaimana caranya melenyapkan ideologi seseorang di dalam kepala?”

Pertanyaan tiba-tiba itu membuat Rustam terperangah. Ia kaget bukan hanya perlu berpikir untuk menjawab, tapi mencari motif mengapa ia menanyakan hal itu.

Beberapa saat ia merenung, menunduk, menatap kembali wajah Sunarti. Tangannya sesekali berbasa-basi membuka cepat draft novel yang sedari tadi dipegangnya.

“Tidak ada. Tidak ada cara melenyapkan ideologi kecuali menggantinya dengan ideologi lain,”

“Apakah bisa? Ideologi adalah sesuatu yang mengakar dalam benak pemikiran dan mengalir dalam dalam darah seseorang sehingga membentuk sikap keyakinannya, kau bisa semudah itu menggantinya?”

“Lalu bagaimana?”

“Kau harus menumpasnya.”

Rustam terdiam. Semesta yang mengelilinginya pun ikut terdiam. Ia berpikir keras lagi. Ada sedikit rasa gentar dalam dirinya. Entah kenapa.

Untuk menghalau perasaannya itu, ia berpikir keras mencari topik lain menggali sesuatu yang bisa dibeberkannya.

“Oh iya, bagaimana bisa ibu akhirnya menikah dengan suami, terutama setelah kepergian pak Tohari dalam waktu lama?”

“Ia tiba-tiba kembali langsung menemuiku. Tidak ada yang aneh dari perangainya. Ia tampak sehat-sehat saja. Ia menceritakan semuanya mengapa tidak ada kabar setelah mengantarkan Habibah lari dari kejaran aparat itu, bahkan sempat membuat ibunya khawatir tapi apa daya kami semua tidak bisa menghubunginya. Pamannya yang katanya bakal jadi tempat persembunyian pun mengaku tidak pernah kedatangan Tohari.”

“Kok bisa, apa sebenarnya yang terjadi?”

“Sepulangnya Tohari ke kampung kami, ia mengatakan sempat ditangkap oleh aparat saat itu. Ia dan Habibah tertangkap razia ketika semua tentara menutup semua akses jalan keluar. Sampai akhirnya ada seseorang yang mengenali Habibah lantas penangkapan pun terjadi.”

“Jadi setelah satu tahun itu, pak Tohari baru kembali?”

“Ya.”

Lihat selengkapnya