Aku Tidak Sedang Menulis Cerita Ini Saat Ia Tertembak Kepalanya

Restu Ashari Putra
Chapter #4

Cerita Pendek yang Ingin Diungkapkan Tohari, 1

“Cerita-cerita di novel ini banyak mengisyaratkan kematian, apa maknanya?”

“Lho, bukankah memang kita ini sedang menuju ke kematian?”

“Iya, maksudku mengapa pak Tohari mengambil tema itu?”

“Hidupnya sudah sering di bawah tekanan kematian. Risiko jalan yang ia tempuh adalah di bawah pedang kematian. Barangkali itu yang membuatnya tak bisa lepas dari tema kematian.”

“Saya ingin bertanya lagi, meskipun saya belum membaca seluruhnya, soal adakah rahasia dari cerita yang disampaikan pak Tohari dari novel ini?”

Rustam kembali mengungkapkan rasa penasarannya. Namun Sunarti hanya menatap lekat Rustam. Terus menerus ia memandangnya dengan tajam. Lalu ia menarik napas dalam seperti ada yang terguncang dalam dirinya. Entah mengapa ia seperti merasa menyesal harus mengirimnya draft novel itu. Lebih disayangkannya lagi Rustam belum membaca seluruh isi novelnya.

“Kamu masih punya waktu, Nak. Saya mau ke belakang dulu, kamu silakan baca-baca dulu walau sekilas cerita-cerita di dalamnya hingga tuntas. Kamu masih punya waktu, Nak.”

Rustam semakin merasa ada yang berbeda dengan ucapan Sunarti kali ini. Seperti permintaan seorang ibu pada anaknya sebelum berpisah. Baru kali ini Sunarti memanggil Rustam dengan sapaan Nak.

Baiklah, aku akan baca naskah novel ini, batinnya. Bagian halaman yang ia sudah diberi tanda terakhir dibaca dibukanya. Lipatan di lembar halaman itu ia buka.

Lalu tepat pada bagian cerita berikutnya, Rustam seketika terbelalak.

TOHARI: Aku seperti seorang gila. Ah, tidak tidak, ini tidak boleh ada dalam ceritaku. Ini gila! Tidak boleh ada yang seperti ini dalam fiksi, tidak boleh ada pembunuhan, jangan ada jiwa yang kacau. Tapi aku harus menceritakannya, aku seperti merasakan, seseorang kelak akan menjalani cerita ini.

Ini adalah surat-surat dan sebuah rencana kematian.

Aku akan menceritakannya pada Sunarti, juga kepada kalian.

 

………………..

Setiap kali membaca, aku merasa harus tinggal dalam kabut.[1] Itulah alasan mengapa aku merasa harus cepat-cepat kembali ke rumah, ke dalam kamar, dan membaca tumpukan surat-surat yang dikirimkan Rustam kepadaku. Aku merasa harus memahami seperti apa kondisinya saat ini. Sejak dua tahun terakhir ia tak meninggalkan nomor kontak atau jejak apa pun mengenai keberadaannya. Lalu tiba-tiba rumahku menerima lembar-lembar surat tanpa alamat yang hanya berisi petunjuk sebuah nama; Rustam, kawan lama semasa kuliah. Oh, tiba-tiba saja kepalaku seperti ditembak kenangan bertahun-tahun silam. Ingatan-ingatan yang terpaksa menjadi kabut dalam kepala.

“Apa kau benar-benar bulat menjadikan mengarang sebagai bagian dari hidupmu, bagian dari kenyataanmu di masa-masa mendatang, bahkan sampai kau sudah beristri dan beranak-pinak?” tanyaku ketika itu, ketika kami sama-sama masih senang bermain-main di kampus. Saat kami masih benar-benar tenggelam dalam deru idealisme mengoyak dada.

“Hei Anton, memilih menjadi pengarang harus dilakukan dari sekarang, di usia-usia muda, sebelum kita banyak dihadapkan pada banyak pilihan,”

Rustam benar-benar telah mengukuhkan idealismenya menjadi seorang pengarang. Dan ia tak sedang ditenggelami dengan bayang-bayang atau khayalan belaka. Jauh sebelum ia mengucapkan kalimat itu ia telah menunjukkannya padaku. Ia telah menulis puluhan cerita. Ia kirim ke koran-koran, majalah, sayembara. Kadang bernasib baik. Kadang hanya bisa ia nikmati sendiri. Dan tekad itu tak pernah lenyap, ia hanya ingin mengarang.

“Jika kelak kau ingin menjadi sesuatu, menjadilah saat ini juga, Anton,” katanya di masa-masa akhir kuliah hingga akhirnya kami berpisah dengan nasib masing-masing.

Aku tak punya banyak pendapat saat itu. Terlebih setiap orang memang memiliki pilihan ideologisnya masing-masing.

Namun sekarang, dengan surat-surat yang baru saja kubaca, surat-surat yang kerap ia kirimkan padaku, aku kembali mempertanyakan bagaimana keadaannya sekarang. Tentunya dengan idealismenya sebagai seorang pengarang. Ah, surat-surat yang membuatku terkadang miris, namun juga salut. Betapa kini ia dengan keluarga barunya, dan seorang putri kecilnya yang cantik--- sebagaimana yang ia ceritakan padaku lewat surat itu ---ia masih bertahan dengan jalan hidupnya: Mengarang.

****

Anton, sepertinya kau sudah jadi bos ya sekarang. Ha-ha. Aku yakin itu. Kau memang cocok jadi bos. Aku sudah menduga sejak zaman kita masih kuliah dulu. Sejak kita masih senang mengacak-acak diskusi sastra. Ah ya tentunya aku masih ingat, kalau menulis bagimu adalah laiknya ibadah. Ha-ha. Pendapat yang pernah aku lecehkan saat itu. Dan kau hanya tertawa…

Aku dimuntahi lagi kenangan-kenangan itu. Pertarungan-pertarungan ideologis yang menentukan keputusan hidup kita. Pilihan-pilihan yang kadang membuat kita bimbang. Namun dulu kau juga pernah berkata kalau kita harus cepat-cepat menentukan pilihan ideologis hidup. Lalu aku termenung dengan ucapanmu itu. Berhari-hari. Pekan demi pekan. Bahkan kau sudah membuatku gundah.

“Janganlah kau pernah takut salah menentukan pilihan jalan hidupmu. Bukankah kesalahan hanyalah jembatan kepada kebenaran. Jadi, janganlah takut,”

Ah, Rustam. Lalu apa yang harus kuputuskan sekarang saat membaca surat-suratmu ini. Kisah-kisahmu. Cerita-cerita hidupmu. Keluh kesahmu. Apa yang harus kulakukan pada sikapku kini, tatkala engkau, dengan amat mencemaskan, membuatku begitu geram. Kau ingin membunuh Raisa, putrimu sendiri?

****

Anton, kau tahu, tiba-tiba saja putriku jatuh sakit. Bukannya tak bisa lagi disembuhkan, tapi, ternyata mengarang bukanlah merampok bank lalu aku bisa dapatkan ratusan miliar uang. Selama ini, setelah menikah, aku masih tetap mengandalkan tulisan-tulisanku untuk bertahan. Dan aku bahagia. Bahkan persalinan istriku bisa kutanggulangi dengan royalti buku kumpulan cerpenku yang laku di pasaran.

Tapi sekarang, sakit putriku yang berkepanjangan ini benar-benar menyiksa. Menyiksaku, istriku, juga anakku. Hanya berawal dari demam, dan kini ia butuh perawatan lebih di rumah sakit. Ha-ha. Aku tak minta dikasihani ya, kawan. Bahkan untuk dianggap keluarga miskin sekalipun.

Lihat selengkapnya