Aku Tidak Sedang Menulis Cerita Ini Saat Ia Tertembak Kepalanya

Restu Ashari Putra
Chapter #5

Cerita Pendek yang Ingin Diungkapkan Tohari, 2

SUNARTI: Entah aku lebih menyukai cerita-cerita yang mengandung perasaan dari yang ditulis Mas Tohari. Tokoh Antonio atau Anton. Mengapa selalu menghadapi kenyataan-kenyataan perih. Entah ia yang menjalaninya ataukah orang lain.

Apa sebenarnya yang dipikirkan Mas Tohari saat menuliskan cerita-ceritanya ini?

……………………………

Cerita-cerita di depan pagar, sebelum petang menjelang

Demi menghargai perasaan cinta yang semakin bunga bermekaran, aku rela mendengarkanmu. Di suatu sore di depan pagar. Mengapa kamu begitu percaya padaku, Katya? Apa pun yang kamu ceritakan, aku rela mendengarkanmu. Tentang luka-lukamu. Tentang kemuakan-kemuakanmu. Tentang apa yang kamu anggap omong kosong.

Betapa menyenangkan mendengarkan cerita-ceritamu. Semisal saat kamu menanyakan padaku, mengapa kita harus mengikuti aturan-aturan? Sedang sejak lahir kita bebas menangis dan tertawa. Atau saat kamu dengan girangnya menceritakan padaku bagaimana cara-cara ayahmu mengkhianati pimpinannya, bawahannya, sahabat-sahabatnya, orang-orang kepercayaannya di kantor dinas tempat ayahmu mengabdi dan bekerja. Juga ibumu.

Kamu belum tahu politik, Katya! Kata-kata ayahmu itu yang selalu terngiang di telingamu, bukan? Lalu lagi-lagi kamu  menceritakan segala luka-lukamu di rumah, di kamar, di ruang makan, di dapur, di halaman belakang, di garasi. Luka ketika tiba-tiba belakangan ini ayahmu kerap marah-marah tanpa alasan yang jelas. Dan aku semakin harus menyiapkan telinga untuk mendengarkan semua itu di suatu sore, di depan pagar rumahmu, sebelum petang menjelang.

Bukankah kita memiliki banyak tempat, Katya?

 

****

“Antonio, apa alasanmu mencintaiku?”

“Aku tak pernah punya alasan.”

“Berarti kamu tak punya tujuan.”

“Apa salahnya?”

“Sepertinya kamu lebih senang terombang-ambing di lautan.”

“Bukankah itu menarik?”

“Berarti kita berbeda.”

“Bukankah itu menarik?”

“Aku tidak suka.”

“Kamu berharap kita sama?”

“Ya.”

“Sosialis!”

“Ah, masa iya?”

Satu minggu. Dua minggu. Satu bulan. Setengah tahun. Aku mencintainya. Dan ia mencintaiku. Lalu apa perlu mencintai dengan teori-teori, dengan alasan-alasan? Tanpa teori-teori pun perasaan-perasaan kita sudah kadung mencintai. O Katya, sudahlah, kita lupakan alasan-alasan. Aku sudah cukup nyaman bersamamu. Dan kamu pun begitu tentunya. Bedakanlah pengalaman-pengalaman lukamu, kemuakanmu dengan perasaan mencintaiku, Katya. Cukuplah teori-teori yang kamu dapatkan itu hanya untuk menghadapi ayahmu, kenyataanmu. Bukan aku.

“Bukankah dengan teori kita bisa tahu benar tidaknya pengalaman?” katamu suatu waktu, di depan pagar pada pertemuan keseribuduapuluh.

“Pengalaman-pengalaman tidak mencari pembenaran, Katya. Pengalaman hanyalah pembebasan dari dirimu sendiri. Seperti deretan pagar ini,”

Aku tiba-tiba menyaksikkan jajaran jeruji pagar yang tinggi-tinggi ini seperti menyimak pembicaraanku yang bertahan limabelas menit berdiri di depan pagar rumahnya. Pagar-pagar tinggi dengan ukiran bagai arca candi-candi. Aku menduga orang-orang mungkin tidak tahu ada sepasang kekasih yang sedang asyik bicara di antara deretan pagar ini, yang jangankan aku, rumah sebesar istana ini pun aku berani bertaruh orang-orang tak akan tahu seperti apa bentuk rupa-nya karena terhalang pagar.

“Seperti deretan pagar? Apa maksudmu?” Tanya Katya.

Katya mengerutkan dahi meminta penjelasan atas ungkapanku tadi. Lalu setelah itu aku membiarkannya tenggelam dalam kegelisahan, tanpa alasan.

Lihat selengkapnya