Aku Tidak Sedang Menulis Cerita Ini Saat Ia Tertembak Kepalanya

Restu Ashari Putra
Chapter #6

Cerita Pendek yang Ingin Diungkapkan Tohari, 3

IKAN-IKAN BERENANG

Tentang kau dan aku. Selalu saja kau sodori aku buku-buku filsafat. Atau sesekali cerita-cerita filosofis yang sulit sekali kumengerti. Siang atau malam selalu saja dunia filsafatmu masuk ke telingaku dan mendekam sebentar dalam relung pikiranku.

“Ketika kita dengar suara Oedipus dengan pedih mengerang, ketika ia merangkak meninggalkan istana, apa sebenarnya yang kita dengarkan?” Kau mengeja kalimat itu keras-keras. Kutipan kalimat yang kaubaca dari sebuah buku esais ternama: Goenawan Mohammad. Tentang Oedipus. Ya, aku membaca esai itu. Itu pun karena kaupaksa. Naskah lakon yang telah diterjemahkan Rendra sejak 1964, dan berhasil dipentaskan. Sebuah penderitaan, tapi juga kepahlawanan, katamu.

Pikiranmu selalu terbang melangit. Tinggi sekali. Kau melayang-layang menceritakan bagaimana seandainya nasib dunia ini jika tak ada orang yang berani berpikir tinggi. Itulah sebabnya kau asyik menekuni dunia filsafat: dunia di mana kau bisa bebas berpikir dan bebas terbang melayang-layang dengan pikiranmu. Sendiri.

Tapi aku sendiri menyangsikan kau berada dalam dunia filsafat seperti yang kaugaung-gaungkan di telingaku setiap hari karena nyatanya kau hanya bermain-main dengan imajinasimu sendiri.

“Hei, tunggu dulu, bukankah imajinasi berangkat dari pikiran yang bebas terbang?” katamu suatu pagi saat kita tengah dikecam dingin yang luar biasa. Secangkir kopi dan sebatang rokok hanya bayang-bayang.

“Kau tak pernah mendengar mengapa Albert Einstein pernah berkata, bahwa ilmu pengetahuan membuat kita banyak tahu, tetapi imajinasi memampukan kita mengembara ke mana pun kita suka.”

“Ya, tentu aku pernah mendengar, itu pun darimu,” sergahku. “Tapi bukankah dunia ini harus disikapi dengan realistis. Ini dunia nyata. Aku hanya percaya pada yang Ada!”

“Hah, apalah artinya kita menyikapi dunia nyata ini kalau hasil yang kita peroleh selalu tak pernah nyata. Permasalahan selalu saja ditanggapi dengan penyepelean dan kita selalu dianggap hanya sedang bermetafora. Bukankah lebih baik sekalian saja kita berimajinasi?”

Kau semakin menjauh dan jauh dari pikiranku.

“Toh kita hanya menjadi bagian dari orang yang paling menderita.”

Dalam pikiranmu dunia menjadi tampak absurd. Kau sudah tak percaya dunia ini dipecahkan dengan sejuta kenyataan. Dan lagi-lagi kau menyanggahku, ”Aku hanya berusaha menyederhanakan hal-hal yang filosofis agar menjadi nyata.”

Aku sudah bertahun-tahun mengenalmu. Bahkan kita pernah merasakan pahitnya hidup bersama. Sejak kau mengutarakan kehendakmu untuk membela orang-orang tertindas, kurasa aku bisa memahami sebagai suatu sikap yang idealis. Bahkan hingga kau larut dengan aktivitasmu yang begitu menyita waktu, kita tetap satu atap. Bagiku hidup tak perlu dibuat rumit. Kita jalani yang praktis-praktis saja. Tapi sekali lagi aku bisa mengerti, kau tak sejalan denganku.

“Aku tak bisa membiarkan orang-orang menangis dan menderita sendirian, maka aku harus turut merasakan penderitaan mereka,” begitu katamu suatu waktu. “Aku bukan ingin disebut pahlawan, tapi hanya ingin bisa menjadi manusia.”

Ah, lagi-lagi alasan filosofismu itu masih belum kumengerti. Apakah sekarang aku tidak menjadi manusia. Sekarang aku tinggal membereskan studiku, punya pekerjaan tetap dan bisa membahagiakan orang tua, kurasa itu sudah lebih dari menjalani fungsi kemanusiaan. Mungkin karena pengaruh bacaan-bacaan filsafatmu yang begitu banyak sehingga kau terlalu filosfis memahami hidup ini.

Ini bukan kesalahan filsafat. Melainkan karena kita terlahir sebagai manusia, katamu lagi suatu waktu. Kau semakin menjauh dan jauh dari pikiranku. Mendekatlah kepadaku, Antonio. Aku Sekarini, kekasihmu.

****

“Sekarini, kalau kita hanya sekedar memiliki anak dan melanggengkan keturunan, untuk apa kita menikah. Hidup saja seperti kucing-kucing. Atau, ikan-ikan.”

“Lalu apa?”

“Ya kita harus merumuskan tujuan.”

“Percuma Antonio, kita terlanjur naik pelaminan.”

“Terlambat lebih baik, bukan? Daripada tidak.”

“Kalau ikan-ikan saja bisa bahagia, kenapa kita tidak?”

“Apa kau yakin bisa bahagia?”

“Kalau kau tak yakin lebih baik kita pisah.”

Lihat selengkapnya