Aku Tidak Sedang Menulis Cerita Ini Saat Ia Tertembak Kepalanya

Restu Ashari Putra
Chapter #7

Cerita Pendek yang Ingin Diungkapkan Tohari, 4

Surat Angin

 “Aku tidak ada dalam atmosfer atau di ruang kosong langit, juga tidak ada dalam kecerdasan paling brilian sekalipun. Aku hidup lebih jelas dan lebih berguna sebagai seorang tamu dalam sanubari seorang pekerja, seorang pelayan,” Ketika itu aku seperti mendengar bebisikan, serupa nyanyian dari angkasa.

****

Hingga malam yang keenampuluh tepat pukul dua belas malam, aku masih belum bisa memejamkan mata. Pikiranku masih terbayang lelaki yang selalu saja menerbangkan pesawat kertas yang ia katakan sebagai surat. Saban sore ia duduk di depan tempat tinggalnya yang sederhana. Di hadapannya terbentang hamparan sawah hijau. Ricik air gemelecak mengairi setiap petak sawah. Semilir angin meraba sekujur tubuhnya. Sesekali ia meneteskan air mata. Entah mengapa.

  “Ini surat untuk angin,” ujarnya suatu waktu. Tentu saja pernyataan itu meninggalkan banyak pertanyaan dalam benak pikiranku. Dan sayangnya, ia tak mudah untuk kuajak bercerita perihal kebiasaannya itu.

  Mungkin ia seperti penyair kesepian yang meratapi penderitaan hidupnya. Atau memang ia sedang menikmati kebahagiaan yang berbeda dari orang-orang pada umumnya. Yang pasti aku selalu melihat lelaki itu menerbangkan pesawat kertas setelah ia menuliskan kata-kata di dalamnya. Aku masih mempercayainya, yang ia tulis adalah sebuah surat.

Ia lipat kertas itu pelan-pelan menjadi sebuah pesawat seperti yang sering dibuat anak-anak sekolah TK. Lantas ia terbangkan ke udara hingga ke puncak-puncak gunung. Menyusuri sawah. Membuntuti aliran sungai. Menyapa setiap telaga. Kemudian mendarat di sebuah tanah kosong. Entah dibaca oleh siapa.

Pernah suatu waktu aku bertanya kepadanya saat ia melamun lama sekali karena pesawatnya terbang tinggi sampai menembus awan. Melayang. Namun selalu saja kembali lagi ke hadapannya.

  “Sebenarnya apa yang kau tulis dalam kertas itu, kawanku?” tanyaku penuh penasaran.

  “Banyak, banyak sekali. Tapi sepertinya kau tak perlu tahu banyak,”

  “Kalau begitu bolehkah aku tahu sedikit saja?”

  “Baiklah. Aku menulis masa lalu.”    

  Setelah ia menjawab itu aku tak berani lagi untuk bertanya lebih lanjut. Sepertinya ia sedang asyik dengan mainan barunya itu. Aku mengerti. Mungkin ia tengah curhat tentang kehidupan masa lalunya yang getir. Mungkin ia tak ingin lagi membaca hasil tulisannya setelah ia tuangkan ke dalam kertas. Oleh karenanya lebih baik ia terbangkan bersama angin dan entah dibaca siapa. Atau tidak ada seorang pun yang membacanya.

  Aku semakin dihantui rasa penasaran yang sungguh akut. Untuk apa gerangan lelaki itu menjadikan tulisannya pesawat kertas. Mengapa tidak disimpan saja dalam lemari kemudian tumpuk dengan puluhan buku. Atau bakar saja sampai benar-benar lenyap menjadi abu hingga menyatu dengan tanah. Ah, peduli amat. Suka-suka dia mau diapakan juga. Toh aku hanya kawannya yang baru dua bulan ini mengenalnya. Itu pun tidak dekat.

  Dua bungkus rokok telah habis dalam semalam. Segelas kopi sudah hampir mengering ampasnya. Namun aku selalu didera keresahan dan ribuan pertanyaan. Besok aku harus menemuinya lagi. Ada apa sebenarnya dibalik kelakuannya itu. Naluri jurnalistikku muncul. Padahal sudah tiga bulan ini aku mengundurkan diri jadi wartawan.

****

Ia tak menginginkan apa-apa kecuali semilir angin datang. Sore itu langit ranum jingga. Suara anak-anak mengaji samar terdengar dari masjid terdekat. Sepertinya marbot masjid lupa mematikan mikrofon sehabis azan ashar tadi. Lelaki itu masih asyik memandangi bentangan sawah yang hampir menguning. Ada beberapa burung terbang mengitari petak-petak sawah.

Aku cukup ragu kalau ia menderita autis. Buktinya ia begitu ramah dan familiar saat kuajak bercakap-cakap.

“Kau tak membuat pesawat kertas lagi?” tanyaku seraya duduk di sampingnya dan memandang hamparan maha karya Tuhan.

“Belum. Mungkin sebentar lagi,” tampak senyum wajahnya meski tak menoleh kepadaku.

“Kalau dipikir-pikir, sepertinya kau bahagia ya dengan menerbangkan pesawat kertas itu. Masalahnya kau kan sudah bukan anak-anak lagi.”

“Apa orang dewasa dilarang membuat pesawat-pesawatan kemudian menerbangkannya?”

“Ya, enggak juga sih. Hanya aneh saja kalau orang-orang melihat kebiasaanmu itu.”

Lihat selengkapnya