Aku Tidak Sedang Menulis Cerita Ini Saat Ia Tertembak Kepalanya

Restu Ashari Putra
Chapter #8

Cerita Pendek yang Ingin Diungkapkan Tohari, 5

Seekor Merpati dan Surat-surat

Aku seperti melihat langit itu biru kelabu. Pucat pudar dalam dekapan awan. Gagak-gagak hitam beterbangan. Dari barat ke selatan. Selatan ke timur. Lalu utara. Dan akhirnya singgah di jendela rumahku, mengendus sesuatu serupa kematian.

  Siapa lagikah yang akan kaukirimi surat, Antonio? Beratus-ratus halaman kautulis, namun tak kunjung kau menerima balasannya juga. Sejak datang dari pesisir dan pelosok desa, kau seperti kesurupan menuliskan segala harapan. Namun tak kunjung kaudapatkan juga. Sampai akhirnya muara surat itu hanyalah keranjang sampah.

  Aku selalu menyaksikanmu berbulir keringat menuliskan segala harapan pada secarik kertas kusam di meja belajar dekat jendela kamarmu. Di rumahmu yang besar dan lengang ini. Kau begitu serius. Seakan tak peduli pada sekelilingmu. Dalam dadamu hanya berkobar semangat bagaimana menyelesaikan surat itu dan berakhir di keranjang sampah. Surat-suratmu pun menumpuk di keranjang sampah. Harapan-harapanmu menumpuk di sana.

  “Rifki, rasanya aku masih belum tahu tebusan apa yang layak untuk orang sepertiku,” katamu suatu hari di dekat jendela kamar. Kau masih berdiri termenung setelah merpati putih itu mengirimmu surat lagi. Dan kau seperti tak tahu bagaimana harus membalasnya.

***

  Selalu ada saja setiap senja tiba, merpati putih itu datang. Hinggap di jendela kamarnya kemudian menyelipkan sebuah surat pendek yang isinya seperti sentakan untuk membangunkan jiwanya. Entah dari siapa. Tapi kurasa ia tahu siapa gerangan di balik surat yang datang padanya itu.

Aku selalu datang ke kamarnya hanya untuk meminjam buku-buku yang penuh tertata rapi di rak bukunya. Dan setiap kali itu pula ia mendekat kemudian berbicara seputar  kehidupan yang awalnya aku asing dengan apa yang dimaksudnya.

  “Aku tahu manusia adalah tempat salah dan lupa. Dan tadi merpati putih itu datang lagi. Ada surat untukku dan isinya, aku tak kan pernah memaafkan manusia sepertimu. Karena aku selalu menjadi korban kesalahan manusia-manusia sepertimu. Begitulah sepenggal kata dalam surat itu tertulis, adikku. Tapi aku tak pernah sempat menitipkan secarik surat pun untuk membalasnya pada merpati itu,” katanya dengan masih tetap berdiri dekat jendela, pagi itu.

  Aku terdiam. Ia pun tak meneruskan kalimatnya lagi. Pikirannya kemudian hanyut dalam keheningan udara pagi yang masih dingin mengenaskan. Kamarnya sedikit berantakan dengan kertas-kertas, dengan buku-buku. Aku tak berusaha keras berpikir apa makna di balik ucapannya. Tapi aku hanya ingin menjadi bagian dari kegelisahannya, yang setiap pagi selalu mengusik ketenangan hidupnya dengan surat-surat dari sang merpati.

  “Kak, apa kakak tahu sampai kapan merpati putih itu akan selalu mengirimkan surat-surat misteriusnya?” tanyaku seraya melihat ke luar jendela seperti halnya dia memandang alam luas yang kini mulai rapat tertutup bangunan-bangunan padat.

  Antonio hanya menggeleng setelah mendengar pertanyaanku. Sejenak kami hening. Aku tetap memandang ke luar jendela. Tapi tak lama ia pun menjawab, “Namun aku bisa memastikan ini sampai kapan,”

  “Ya, ya. Aku harap begitu. Segala sesuatu pasti ada akhirnya,” ujarku singkat.

  “Kau semakin pintar adikku, semua memang ada akhirnya. Tidak ada yang kekal di dunia ini. Tapi aku sering mempersalahkan hal ini dengan Silvia. Ia mengacuhkan kekekalan itu. Terutama dengan apa yang namanya cinta. Cinta yang selalu ia anggap hanya padaku saja, tidak pada yang lain. Cinta pada apa yang ia senangi. Tanpa berpikir kalau aku juga bagian dari kefanaan itu. Aku bagian dari tidak kekekalan itu,” Antonio kemudian berbalik membelakangi jendela. Ia mengambil sebuah buku di rak yang ada di sampingnya.

“Ki, kamu tahu ini buku apa?”

  “Maksud kakak?”

  “Kau lihat judul buku ini dan kau tebak dalam buku ini membahas tentang apa. Itu kalau kau benar-benar seorang pencinta buku,”

  Aku sejenak diam. Kupandangi buku itu. Aku lihat depan belakang buku itu. Aku mengerutkan kening. Hatiku masih berpikir apa sebenarnya yang ia maksud.

  “Ya aku tahu, ini buku tentang..…”

  “Haha, tak perlu kau jelaskan,” Antonio menatapku lekat-lekat. “Dengar, kehidupan tidak ada dalam buku ini. Dan mungkin juga dalam buku-buku yang terjejer rapi di rak bukuku. Tapi kau hanya bisa belajar sedikit darinya. Hanya sedikit. Ya, hanya sedikit.”

  Aku mengangguk. Aku tahu kalau kehidupan itu tidak ada di buku. Tapi di kenyataan hidup kita sendiri. Aku mengerti itu dan aku… Ah, tapi bukankah aku mengerti hal itu pun justru dari sebuah buku. Aneh. Sungguh pagi ini mulai memasuki tahap pertemuanku dengan Antonio semakin memusingkanku. Merpati putih selalu datang setiap pagi. Surat misterius yang selalu menjadi tanda tanya apa maksudnya. Dan kini, buku dan kehidupan menggenapkanku menjadi sarapan pagi yang pahit.

  Aku teringat lagi, saat pertama kali merpati putih itu membawa secarik surat ke jendela kamar Antonio. Ia selalu mendung dalam diam. Ia berkata kalau ia tak pernah bisa memaafkan dirinya lagi. Lalu katanya lagi, “Kau jangan pernah bermain-main dengan kebebasan. Kau jangan berbuat seenaknya dengan kebebasan. Suatu saat kau akan terbelenggu olehnya,”

  Tentunya aku selalu berusaha menjadi adiknya, bahkan seperti sahabatnya, teman dekatnya yang sewaktu-waktu mungkin juga menjadi sosok kakaknya. Aku akan tetap mendengarkannya. Saat itu ia terhuyung meremas-remas rambutnya yang sedikit gondrong. Sesekali menatap langit-langit kamar kemudian menunduk lagi memendam keresahan. Di sampingnya ada secarik surat dari merpati itu.

Lihat selengkapnya