Aku Tidak Sedang Menulis Cerita Ini Saat Ia Tertembak Kepalanya

Restu Ashari Putra
Chapter #9

Cerita Pendek yang Ingin Diungkapkan Tohari, 6

Kepala Salsabila

Hanya dirimu sendiri murid setiamu. Semua yang lain satu demi satu pergi meninggalkan engkau. Itu kalimat Rumi yang kutemukan tadi pagi. Aku menemukannya dalam rak buku paman yang hampir usang. Di sebuah pagi yang pecah. Di separuh waktu yang kacau.

Hari kelimabelas bulan Ramadan. Aku masih saja dalam keadaan yang tak berubah dari hari-hari sebelumnya. Bangun pagi dan menemukan buku-buku berserakan habis ditelan waktu. Keluar kamar setelah bersetubuh semalaman dengan mimpi dan fantasi yang terus saja menyiksa. Aku semakin didera malas yang luar biasa. Melihat nenek yang sedang duduk di dipan sambil menggumam ayat-ayat Qur’an. Menahan lapar dan haus yang sesungguhnya hanya menunggu gema azan maghrib dari masjid pesantren sebelah rumah.

Cikaret masih rikuh berselimut kabut. Kampung ini begitu anggun dengan cuaca dingin dan aroma perkebunan teh, tiga kilometer menuju Goalpara, di mana lautan dedaun teh bisa kupandang sepuasnya.

Pagi itu ponselku berdering. Lamat-lamat kudengar suara Pak Rahmat memintaku untuk meliput seorang anak kecil yang mampu melukis dalam tempo kurang dari lima menit. Bocah kecil itu bahkan telah menyelesaikan hampir dua ribu karya lukis dalam usia empat tahun. Lukisan yang tak diragukan orisinilitas kekanak-kanakannya. Setiap orang yang melihat karyanya, mau tidak mau ia akan masuk dalam dunia anak-anak usia bawah lima tahun. “Kalau kau ingin tahu isi kepala anak-anak, maka lihatlah lukisannya,” ujar seorang pemerhati seni yang takjub menyaksikan lukisan karya anak kecil itu.

Salsabila. Pagi itu aku langsung menuju kediamannya di kecamatan Citamiang, sebelah kidul kota Sukabumi sebagaimana yang ditugaskan Pak Rahmat, pemimpin redaksi tempat di mana aku bekerja sebagai wartawan koran lokal. Tepatnya wartawan lepas. Memang sejak awal aku sudah ditawari menjadi wartawan tetap di koran itu. Tapi aku menolak. Aku tak mau terikat. Lagi pula aku hanya ingin menulis hal-hal tentang kesenian dan kebudayaan.

Pak Rahmat sebagai pemimpin redaksi mengakui kalau korannya sangat membutuhkan wartawan yang memiliki kemampuan dalam menulis tentang seni dan budaya. Ia tahu aku punya kemampuan di bidang itu karena tulisan-tulisanku kerap muncul di halaman budaya yang ia asuh. Oleh karenanya ia sangat mendesakku untuk menjadi bagian dari medianya.

“Ayolah, aku tahu kau punya wawasan lebih dalam hal seni budaya. Koran ini sangat membutuhkan orang sepertimu,” ujarnya suatu hari, penuh harap padaku. Tapi bagaimana lagi, aku benar-benar menolak. Hingga akhirnya aku bersedia menerima tawarannya namun dengan syarat hanya sebagai wartawan lepas saja. Aku sedang tak ingin sibuk dengan urusan yang sangat memperbudak hidupku.

Aku telah bertekad, kedatanganku ke Cikaret hanya ingin mengasingkan diri dari penat kehidupan kota Jakarta tempat tinggalku. Di Cikaret aku tinggal bersama nenek. Tempat dulu aku pernah dibesarkan saat kecil selama lima tahun.

Salsabila. Pelukis cilik yang punya kemampuan ajaib itu akhirnya benar-benar menarik gairahku untuk ingin tahu lebih dalam tentangnya, tentang lukisannya. Rumah tempat tinggalnya yang asri disihir menjadi Galeri Lukisan. Bertemu dengannya, ia tak ubahnya anak-anak lain yang sedang menikmati masa-masanya senang bermain.

Perempuan cilik itu senyum padaku. Berhadapan denganku, ia masih malu-malu. Maka aku tak langsung banyak berbicara dengannya. Sedikit kucoba memancing komunikasi dengannya, namun ia malah ngeloyor pergi menghampiri bundanya. Akhirnya aku lebih banyak berdiskusi dengan bundanya yang sangat familiar. Ia banyak menceritakan debut Salsabila dalam proses kreatifnya. “Pikiran anak kecil adalah kejujuran, maka imajinasi yang tertuang dalam gambarnya juga adalah sebuah pandangan yang jujur, apalagi ia masih balita,” ceritanya padaku. “Saya tidak pernah melarang Salsabila saat ia mewarnai gambar daun dengan warna abu-abu atau gambar kepala dengan warna biru. Bahkan tubuh manusia dengan warna hitam legam sekalipun.”

Setelah sedikit banyak bercerita, Bunda Salsabila pergi meninggalkanku sebab ia masih harus bergelut dengan aktivitas lain sebagai ibu rumah tangga.

Dan keanehan ajaib itu adalah perjalananku di sebuah ruangan hening. Dinding-dinding yang sepi. Aku masuk ke dalam dunia yang amat sunyi. Dunia yang sedang bermain dengan kisahnya sendiri.

Galeri itu. Aku melihatnya seperti mentertawakanku. Aku membayangkan Salsabila menggerakkan tangannya dengan pelan. Menggoreskan bayangan matanya. Menggariskan jari-jarinya.

Lihat selengkapnya