Saat istirahat, aku tidak pernah keluar untuk membeli sesuatu. Bukannya aku sedang diet atau sedang mengirit. Tapi, aku malas untuk berjalan keluar dan bersedak-sedak ria dengan siswa yang lain. Aku di kelas terkadang menyendiri, karena menyendiri itu lebih baik daripada berkelompok yang tidak penting. Entah mengapa saat aku ingin berdiri untuk menghampiri Nima di kelasnya, aku terduduk kembali dan memegang dada bawah, seperti ada yang menusuk atau apapun itu. Rasanya sakit. Tapi, aku mencoba tenang dan bernafas dengan benar. Tanganku memegang kursi dengan kuat, keningku berkeringat dingin.
Aku mulai membaik setelah salah satu temanku masuk ke kelas membawa kantong hitam yang berisikan makanan. Aku berusaha bersikap normal kembali, dengan duduk santai dan memainkan ponsel hitamku. Aku merasa basah di bagian atas, dan aku langsung keluar kelas untuk membeli tisu. Ya ampun! yang namanya istirahat adalah surganya pelajar, semua kantin penuh bak lautan yang terisi ikan sarden.nini alasan kenapa aku tak suka di kantin. aku pergi ke koprasi dan berharap disana ada stok tissu untukku.
Dipertengahan jalan menuju kelas, aku bertemu Nima bersama temannya, sepertinya mereka hanya sekedar jalan-jalan saja melihat sekeliling sekolahan, soalnya mereka tidak membeli apapun.
“Dila?, baru kali ini aku melihat kamu keluar kelas?”
Aku memasukan tissu ke saku rok “habis beli penghapus. Ya sudah aku ke kelas ya” kataku berlalu dan meninggalkan wajah heran dari Nima.
Jalan ku mulai sempoyongan tak beraturan. didalam kepalaku seperti banyak suara-suara yang entah apa mereka ributkan, dan penglihatan mulai melebur dan seperti ada kunang-kunang.
Aku berharap aku baik-baik saja! pikirku dalam pandangan hitam.
Perlahan aku tersadar di ruangan yang didominasi warna putih. Kepalaku masih sakit. Sepertinya aku kali ini akan pulang setengah hari.
“Dila tadi makan apa?” tanya perawat yang masih muda.
Aku mulai ke posisi duduk, “aku tidak makan, apapun”
“setiap hari Dila tidak pernah keluar saat istirahat untuk membeli makanan” tambah Tria disampingku.
“sepertinya, kamu harus istirahat di rumah. Kalau disini terlalu bising” saran perawat itu dan felling ku tepat.
Aku dibantu berdiri oleh Tria dan Devi, “Tria bawa motor ga?” tanyaku menhaan sakit di bagian bawah dada.
“enggak , motornya di service” jawaban yang halus baru ku dengar dari mulut Tria yang jutek, mungkin dia iba melihat keadaanku sekarang.
Pak Nasir melihat kearah seseorang yang sedang melintasi UKS, “Zakir” teriaknya memberhentikan dia,
“kamu tolong antar Dila kerumahnya” perintah pak Nasir yang tidak boleh di elak oleh siapapun. Guru terganas dengan omongan yang celetak- celetuk dan ringan tangan.
Aku langsung dibawa ke gerbang oleh kedua temanku, dan menunggu Zakir membawa kendaraannya, wajahku mulai pucat. Tetapi aku masih memperlihatkan ketegasan bukan kelemahan. Saat Zakir datang, Tria dan Devi memperhatikanku saat aku naik motor bersama Zakir, bukan mereka ingin melihat kami, tapi mereka ingin memastikanku.