Aku terbangun dengan keadaan sangatlah lemas. Pemandangan ini sungguh berbeda. Ruangan ini asing sekali bagiku, gorden yang memisahkan antara ranjang dan selang oksigen disampingku.
"Rumah sakit? Separah ini kah?" Tanyaku sendiri.
Nima memegang tanganku yang terinfus. Senyuman Nima seolah memberikan harapan.
"Tadi kamu pas istirahat dikamar tak sadarkan diri. Jadi semua panik dan membawamu kesini" jelas Nima mencoba tenang.
“kamu ini, kenapa?” tanya Siha seraya memeluk.
“kamu tadi diantar siapa?” tanyanya lagi.
Aku tersenyum dan menghapus air mata, “kalian jangan kawatir, aku baik-baik saja” kataku menyakinkan. “aku tadi diantar, oleh orang baik-baik” aku mulai tersenyum.
Aku berteriak. Semua orang rumah berkerumun di kamar Siha. Dan memanggil almbulance untuk membawaku ke salah satu rumah sakit.
Setelah dokter memeriksa, sakit itu mereda dan hilang. aku bernafas normal dengan bantuan selang oksigen. Saat dokter akan keluar aku memegang tangan dokter muda berparas cantik itu.
“sebelum kamu, memberitahu keluargaku. Aku lah orang pertama yang harus tahu” tegasku masih lemas dan suster masih menghapus keringat yang ada.
Dokter tersebut menghampiri sambil mengusap kepala ku, “kamu hebat. Tapi maaf, keadaanmu belum stabil” paparnya lembut.
Aku menitikan air mata dengan kecewa, “dokter harus janji. Jangan kasih tahu siapa-siapa sebelum aku!”. Kami pun mempunyai janji.
Aku beristirahat tetapi, terdengar banyak pertanyan diluar sana. Aku berharap dia tak memberitahu siapapun penyakit yang aku alamii. Aku merilekskan tubuh diranjang putih berselimut biru, aku merasa nyaman dengan rumah sakit ini, pelayanannya sangat diperhatikan, dan orang-orangnya ramah. Di ruangan ini aku tak sendiri, ada 2 pasien yang duduk bersebalahan dengan ku Aku diruangan tersebut tidak senidrian, tetapi aku ditemani 2 pasien bersebelahan dengan ku.
Saat aku terbangun kembali untuk meminta minum, terlihat Siha dan Nima tertidur di kursi yang disediakan di ruangan tersebut. Aku tak melihat 2 pasien tadi, mungkin mereka dipindahkan.