~
Sekarang aku berada dimana? Hey angin yang berhembus, katakan padaku.
Berapa malam lagi yang harus aku lalui dalam kegelapan ini untuk melihat hari esok yang tak pasti untukku?
Apakah aku harus terus berjalan meski tak tahu arah?
Apakah aku masih harus percaya disaat aku tak punya harapan?
Terlalu gelap, aku lebih baik berhenti.
~
Lusi sedang berjalan di lorong sekolah, hendak pulang menuju rumahnya. Tapi, dia tidak sengaja berpapasan dengan wali kelasnya. perempuan itu diminta untuk masuk ke ruang konseling karena ada beberapa hal yang harus wali kelasnya tanyakan.
"Lusi... bagaimana kabarmu? Apa kau baik-baik saja?" tanya bu Mitha mencoba basa basi, bodoh sekali jika dia bertanya seperti itu. Lusi hanya diam tak berniat untuk menjawab.
"Ibu lihat kau sering sendirian, kenapa tak berbaur dengan yang lainnya?"
Wanita itu menghela nafas kecil setelah menimbang sesuatu, lalu berkata, "Apa kau merasa diancam di sekolah ini?" Lagi-lagi Lusi hanya diam, suasana jadi canggung saat gurunya membahas hal itu.
"Apa ada yang sering mengganggumu? Apa kau diperlakukan buruk oleh teman sekelasmu?" tanyanya lagi.
"Kau bisa cerita pada Ibu? Kau tahu, tidak baik jika memendam masalahmu itu seorang diri," ucap bu Mitha dengan nada yang lembut.
Heh! Baru kali ini ada wali kelas atau guru yang peduli padanya. Padahal sejak awal mereka hanya diam, seolah tidak melihat.
"Ibu memang belum terlalu mengenal–" perkataan itu langsung dipotong oleh muridnya.
"Tsk." Terdengar decakan kecil dari mulut gadis SMA itu.
"Jika aku membenarkannya, apa sekolah akan menindaknya?" tanyanya dingin.
"Jawabnnya tidak." Lusi tahu, jika sekolah tidak akan pernah mau merusak citranya.
"Lusi..." gumam bu Mitha.
"Sudah cukup, lagi pula Ibu tidak bisa melakukan apa-apa, apalagi Ibu hanya guru baru di sini," balas sang murid masih dengan nada dinginnya.
"Permisi," lanjutnya, kemudian pergi meninggalkan ruangan itu. Lusi tahu ini tidak sopan, tapi dia sudah terlalu muak dengan apa yang menimpanya.
Lagi-lagi gadis itu berhenti di sini, jembatan yang sering menjadi tempat keduanya. Entah kenapa jika di sini dia merasa tenang. Setelah beberapa menit, Lusi mulai melangkahkan kakinya lagi menuju rumah. Dia menutup kepalanya menggunakan hoodie jaket maroon-nya, tak lupa memasukan kedua tangannya ke dalam saku blazer sekolahnya yang melapisi jaketnya.
~
PRANK!!!!
Terdengar bunyi suara pecahan gelas yang sengaja dilemparkan oleh seseorang. Di sana terlihat ada seorang wanita umur 40-an awal sedang menatap marah pada seseorang yang bisa dibilang adalah anaknya.
"Nilaimu turun lagi hah! Sudah berapa kali aku bilang, jika ingin dianggap oleh orang-orang, kau harus lebih tinggi dari mereka!" teriak wanita itu semakin marah.
"T-tapi aku–" perkataan anak perempuan itu langsung dipotong paksa.
"Apa? hah! apa? Kau mau beralasan lagi? kau juga sudah berani bolos les bahasa Prancis kemarin!"
"I-bu kemarin aku harus membantu temanku, dia sedang ada masalah," belanya pada sang ibu.
"Alasan! teman katamu? sudah ku bilang tidak ada namanya teman di dunia ini! Kau hanya akan jatuh jika percaya pada mereka!" balas sang Ibu tak percaya.
Tanpa sadar kedua matanya mulai memanas, dia tahu sebentar lagi akan menangis. Sekuat tenaga remaja itu menahannya dengan meremas erat sisian kain rok sekolah yang dipakainya.