Matahari pagi ini sudah menyinari ruang demi ruang rumah dan juga kamar Senna, tapi ia tidak kunjung bangun hingga mendengar handphone nya berdering. Senna terbangun dari tidurnya, jam sudah menunjukan jam delapan lebih tigapuluh menit.
Baru saja Senna ingin mengangkat telepon, ternyata panggilan masuk untuknya mati duluan.
Senna mengambil ponsel nya. "Duh siapa sih pagi-pagi gini yang udah nelepon."
Senna memastikan siapa yang menelepon nya. "Fania?"
Ternyata Fania sudah menelepon lebih dari tiga kali. Sekarang, matanya tertuju pada hari yang tertera pada layar ponsel nya yaitu hari sabtu.
Mata Senna terbuka lebar-lebar. "Pasti Fania udah nunggu gue di danau." Tanpa mengumpulkan nyawa, Senna langsung beranjak dari kasurnya dan langsung mandi dan selepas mandi Senna mengenakan kaus putih dengan celana jeans panjang.
Senna menundukan kepalanya ke bawah ranjangnya.
"Aman." Senna melihat ke brangkas yang kemarin ia letakan di bawah ranjang kasur nya.
Senna langsung berdiri kembali dan tidak lupa mengambil ponsel yang ada di atas meja dan memakai sepatu hitam lalu keluar dari kamarnya.
Di lantai satu, Fena sudah berada di depan televisi sambil menyeruput teh.
Senna yang baru saja keluar langsung berjalan ke arah Fena. "Mah, Fania udah datang?"
Fena meletakan teh nya di meja. "Fania? Fania gak kesini, Na."
Senna mengerutkan dahinya. "Tapi ini hari sabtu. Kenapa Fania gak ke sini?"
Keduanya saling memandang.
"Mungkin duluan kali Na ke danau nya."
Senna menatap ke arah Fena. "Iya mungkin Ma, udah nunggu di danau kali ya."
"Ma, Senna langsung ke danau aja ya." Senna langsung berjalan ke mendekati Fena dan mencium tangan nya.
"Hati-hati Na."
Senna langsung mengeluarkan sepedanya dari garasi.
Garasi yang menghubungkan taman depan dan belakang rumah Senna membuat ia kembali teringat Moci yang barusaja kemarin mati.
Air matanya kembali menetes. Beberapa saat Senna menatap ke kandang Moci, ia pandangannya teralihkan saat Senna melihat kearah jam tangan di tangan kirinya. Kini jam sudah menunjukan jam sembilan tepat. "Gue harus cepet."
Senna mengayuh sepedanya dengan sedikit terburu-buru.
Fania yang sedari tadi menunggu di danau hanya duduk melihat ke arah danau.
Sesampai Senna di danau, ia melihat Fania yang tengah duduk di bangku yang biasanya mereka tempati setiap hari sabtu di danau
Pandangan nya teralihkan saat terdengar ada seseorang yang sedang berada di dekat nya. Fania langsung membalikan badannya dan melihat ke arah belakang.
"Sen."
"Fan." Senna memakirkan sepedanya di bawah pohon dan berjalan ke arah Fania, Senna duduk di samping kiri Fania.
"Gimana hari-hari lo." Tanya Fania.
"Hancur Fan."
Fania langsung menatap ke arah Senna
"Sen lo kenapa?" Tanya Fania sontak ia terkejut mendengar jawaban yang Senna utarakan.
Senna mulai meneteskan air mata. "Fan, Moci mati."
Fania menatap Senna dengan penuh perhatian. "Sen gak apa-apa. Lo kan punya gue."
Fania langsung memeluk Senna yang kini tengah sedih. "Sen, all is well, right? gue bakal selalu ada buat lo." Fania mengusap punggung Senna.
"Fan, makasi ya."
Fania melepas pelukan nya.
Senna melihat ke arah danau yang tenang dan kemudian melihat ke sekeliling mereka duduk.
Dahi Senna mengerut. "Fan, sepeda lo kemana?" Tanya Senna
"Sepeda gue, gue jual Sen." Kata Fania, kini pandangan Senna terpusat kepada Fania.