Akulah Sity Maryam Indonesia

Donto Hade
Chapter #1

satu • KEJADIAN

Tubuh Kemala terkulai diatas hamparan batu ditengah sungai. Entah sudah berapa lama ia terbaring dalam keadaan tak sadarkan diri. Suara burung-burung bersiulan seolah mengabarkan kesaksian pada keadaan yang menimpa gadis yang berpakaian tertutup rapat dari auratnya itu. Angin semilir menebak dedaunan pohon-pohon yang tumbuh rindang sepanjang tepi sungai. Betapa sejuknya alam pedesaan di sungai yang airnya masih jernih belum tercemar. Hari itu mungkin airnya agak besar karena semalam hujan cukup lebat sekali. Apalagi mengingat setiap musim penghujan pasokan air sungai biasanya naik, juga arusnya kian deras.

Sore itu musim hujan sudah menampakan lagi pertandanya. Tetapi tidak sampai menggelapkan permukaan bumi tempat itu. Hanya sedikit mendung. Awan hitam tipis berarak mengikuti arah mata angin menuju timur. Sekarang bulan Maret. Penghujung musim hujan di kawasan tropis Indonesia.

Satu persatu airpun turun, bercucur dari kebekuan awan yang meleleh. Angin sedikit kencang menghembuskan bulir gerimis menjadi kabut tipis yang tiba-tiba menyelimuti pemandangan wilayah itu. Burung-burung terbang kian kemari mencari perlindungan dari terpaan air. Mungkin pula secepatnya ada yang kembali ke sarangnya. Atau bagi yang terlalu jauh berkelana, burung-burung itu hinggap di tempat yang sekiranya teduh dan aman demi keselamatannya.

Lihat! Ada sepasang burung kutilang sedang bercumbu di dahan pohon jati, dibawah daunnya yang besar melindungi keduanya dari tiupan angin kencang dan hujan. Sepertimya mereka asyik sekali. Saling mematuk pelatuknya bergantian. Mungkin yang berusaha naik ke punggung yang satunya itu pejantannya. Keduanya begitu mesra mengusir rasa dingin cuaca alam ini.

Berbeda dengan puluhan burung kepinis yang menyambut riang gerimis sore ini. Terbang melayang jauh tinggi menembus awan. Lalu meluncur kembali ke bawah dengan cepat. Namun beberapa meter lagi ke permukaan tanah mereka menyeimbangkan lagi kekuatan daya terbangnya dengan melayang rilek membiarkan kedua sayapnya diam dalam rekah sesaat. Sebelum kemudian dikepakan lagi menyeimbangkan pertahanan terbangnya agar tidak sampai terjatuh keatas rumput ilalang yang menghijau di daratan tepi sungai.

Ada juga beberapa burung walet terbang diatas permukaan aliran air sungai yang sedikit tenang arusnya. Sepertinya burung-burung itu sedang mencari mangsa sebelum mereka kembali ke sarangnya. Burung walet itu sedang mengincar sejenis ikan-ikan kecil yang muncul ke permukaan air. Seperti ikan yang masih bibit ataupun sejenis udang. Sehingga tak jarang burung-burung itu tampak menjilat permukaan air sampai airnya beriak. Tak hanya ikan pula yang mereka tangkap, bahkan serangga-serangga kecil bersayap sejenis kumbang hama tanaman ataupun belalang, burung-burung walet itu dengan tepat menyambarnya.

Gemercik air hujan terdengar berkecipak bersahutan menerpa permukaan air sungai. Begitu pula berjatuhan menimpa tubuh Kemala yang masih tampak terkulai. Tetapi dalam serentak ia tersentak seketika duduk. Matanya jelalatan mengitari tempat sekitarnya dengan beringas.

"Allahuakbar!" serunya seraya bersujud diatas hamparan batu tengah sungai itu. Beberapa saat ia dalam posisi seperti itu. Entah apa yang sedang diadukannya pada Tuhan.

Lalu tampak ia bergerak lekas berdiri. Diantara basah air hujan yang menerpa paras eloknya, tampak pula gerimis itu turun di matanya yang bening. Seluruh pakaiannya yang basah kuyup membuatnya sedikit bergidik. Wajah yang terselubung kerudung itupun tampak pucat sekali. Matanya kembali berputar ke sekelilingnya. Ia melihat ke tepi sungai diantara air matanya yang terus menetes. Ia mengusap tetesan bening yang bercampur dengan air hujan di mukanya. Sejenak ia mendongakan wajahnya ke langit. Mungkin dia ingin mengetahui dimana keberadaan matahari saat itu. Sayang, ia tidak menemukannya kecuali awan hitam itu yang kian menebal berarak dari arah barat kian tambah menggelapkan suasana.

Kemala menghela nafasnya. Kemudian ia mengusap dadanya. Terucap kalimat do'a diantara belahan bibirnya yang tipis itu, "bismillaahirrahmaanirrahiim."

Ia menerjunkan langkahnya kedalam air sungai perlahan dengan hati-hati. Alhamdulillah, ternyata tidak begitu dalam. Hanya sebatas lututnya. Seraya iapun melangkahkan kakinya memotong arah diagonal arus sungai ke hilir.

"Lahaula walakuwata illabillahil aliyiladzim," serunya sedikit memekik sambil menghentikan gerak kakinya. Air sungai di tempat itu bertambah dalam melebihi dari tinggi lututnya. Dengan raut muka yang tampak panik, ia tampak sekali kebingungan memutar-mutar matanya melihat arus air yang sekiranya aman untuk dilewatinya. Air sedikit keruh sehingga ia tidak dapat melihat dasar sungai untuk memastikan seberapa dalamnya. Arusnya yang serasa kian deras membuat rok panjangnya mengembung dipermainkan air sehingga ketahanan tubuhnya sedikit oleng.

"Ya Allah," ia terpekik hampir-hampir tidak kuasa menahan keseimbangan tubuhnya yang sedikit tergeser ke hilir terbawa arus.

Kemala menggeser-geser kakinya perlahan, barangkali saja arus air ke hilirnya kian dangkal. Dengan mulutnya yang tak henti komat-kamit memanggil-manggil asma Tuhannya yang Maha Memberi Pertolongan. Kemudian ia kembali berhenti di posisi air yang setengah pahanya. Tangannya tampak meraba-raba kedepannya menembus permukaan arus air. Ia menarik nafas lega. Rupanya ia menemukan sesuatu. Ya, ia menumpu sebongkah batu. Dengan hati-hati iapun naik keatas batu itu.

"Aw!" kaki Kemala terpeleset karena batu itu mungkin licin berlumut. Dengan raut mukanya yang tegang, akhirnya berhasil menapaki puncak batu itu yang hanya tinggal menyisakan setengah betis arus airnya.

Kemala kembali melihat ke tepi sungai. Kira-kira hanya satu setengah meter lagi jaraknya. Ada riak kebahagiaan yang terpancar di matanya. Ia sedikit demi sedikit menggeser langkah kakinya.

Hup! Ia menarik ulur kakinya disertai engahan nafasnya yang terhenti. Bongkahan batu itu ternyata tidak sampai ke tepi sungai. Terpisah deras arus yang hanya setengah meter lagi. Tapi gurat kekecewaan itu tak lagi terdapat di wajahnya. Ia sudah berasa lapang. Setengah meter bukanlah jarak yang jauh. Cukup dengan sedikit tolakan kakinya iapun lalu melompatinya.

Sesampainya di tepi sungai Kemala lekas menuju ke dataran yang lebih tinggi dan menjauh dari sungai. Sepertinya ia tidak ingin menoleh kembali ke arah sungai yang sudah menghanyutkan ketegangannya. Baru setelah ia berada di tengah rumpun ilalang yang menghijau beberapa meter jaraknya dari tepi sungai, Kemala berhenti serta menoleh kembali bekas jejak langkahnya.

Matanya berlinang lagi. Lebih bening dari buliran air hujan yang kian deras menerpanya. Tangisan syukur terhadap Tuhannya yang sudah menjadi juru selamatnya.

Kemala lalu membalikan lagi tubuhnya seraya melangkahkan kakinya menyibak rimba rumpun ilalang. Ia sedikit tertatih-tatih mungkin menginjak onak duri ataupun putri malu yang tumbuh liar di sepanjang jalan yang dilaluinya. Maklumlah halus telapak kakinya itu tidak beralaskan sehelai benangpun. Busana muslimah serba panjang berwarna putihnya yang basah kuyup itu mulai tampak kotor terkena noda dari benda-benda yang bersentuhan atasnya.

Hujan terus saja merintik semakin deras. Sesampainya Kemala pada jalan setapak yang biasa ramai digunakan sebagai jalan para perempuan desa yang pada hendak mencuci pakaian ataupun mandi disaat cuaca hari yang cerah, sekilas Kemala menoleh ke ujung jalan itu yaitu tepi sungai. Selanjutnya Kemala meneruskan perjalanannya menelesuri jalan setapak itu yang berkelok-kelok dan menanjak menuju sebuah perkampungan dimana sekarang ia tinggal.

Ketika ia menepi ke pinggir kampung melintasi jalan desa, ia berpapasan dengan seorang lelaki tua berpakaian kucel yang segera menyapanya.

"Nak Siti!" pria itu tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Kemudian iapun melanjutkan langkah kakinya menuju pulang sehabis dari sawah dan ladangnya dengan cangkul di pundaknya.

Kemala hanya membalasnya dengan sedikit senyum simpul. Ia berbelok ke gang yang memasuki kampung itu. Entah kenapa ia memakai jalan itu, padahal ke rumah tempat tinggal pamannya lebih dekat melalui jalan desa. Mungkin ia ingin datangnya dari belakang rumah, juga risih takut banyak orang sepanjang jalan yang akan mempertanyakan kondisinya.

Sore yang mendung kian gelap saja. Sepertinya penduduk kampung lebih senang berada didalam rumah ketimbang nongkrong diluar menyaksikan fenomena alam yang mengerikan. Dingin hembusan angin kencang bercampur embun.

"Hai, Nak Siti darimana?"

Kemala yang jalan tertunduk sedikit terkejut mendapat sapaan itu. Ia mendongakan wajahnya seraya tersenyum dan membalas sapaan Si Ibu berpayung itu yang berhenti didepannya.

"H, saya... Maaf ya Bu!" Kemala gagu tanpa jelas apa yang telah diucapkannya terhadap Si Ibu itu yang sejenak memperhatikan Kemala yang terus melangkah meninggalkannya.

Dengan ragu-ragu Kemala berhenti di tepian tempayan sebuah rumah permanen. Tatapannya tajam ke pintu belakang rumah itu. Lalu, satu dua langkah iapun maju. Maju, mendekat ke pintu. Di ambang pintu, tepatnya dekat di daun pintu itu Kemala terhenti. Ada suara yang ia dengar dari dalam.

"... kamu sudah menanyakannya ke Bibi Hasanah?"

"Maaf Abi, Kak Kemala tidak berkunjung ke rumah Bibi Hasanah hari ini. Yasa dapat kabar dari Holipah kalau Kak Kemala tadi bersamanya di sungai ketika belum turun hujan. Tapi katanya Kak Kemala hendak buang hajat dulu tanpa meminta untuk ditungguinya. Yasa segera menyusulnya ke sungai serta berusaha teriak-teriak memanggil-manggilnya, tapi kayaknya Kemala tidak ada disana. Di sungai sepi. Apalagi arus airnya keruh dan kian naik. Manamungkin gadis sepertinya berani berlama-lama disana..."

Mendengar percakapan dari ruang dapur itu Kemala segera mengetuk pintu seiring berucap salam, "Assalamualaikum!"

"... sepertinya itu suara Kak Kemala, Abi."

"Waalaikumussalam," jawab dari dalam.

Tak lama pintupun terbuka. Tampak Bibi Fatonah dengan sikap terkejut menyambutnya.

"Kamu kenapa Siti? Darimana saja? Pakaianmu sampai belepotan dan basah kuyup begitu," perempuan berjilbab serta berpakaian serba tertutup panjang itu menarik tangan Kemala diajaknya segera masuk.

"Kaki saya kotor Bibi. Saya bersihkan dulu," Kemala memakai sandal yang ada di tepi teras dapur di ambang pintu itu. Lalu ia mencuci lumpur yang menempel di kakinya itu dengan air hujan yang terjatuh di tempayan rumah. Setelah bersih kemudian iapun masuk.

Paman Thaabi menyambut kedatangan Kemala dengan tatapan matanya yang tajam.

"Kamu ke mana saja Kak Kemala?" tanya Yasa, lelaki muda seusia Kemala yang hanya mengenakan handuk sebatas pinggang. Mungkin dia baru usai mandi.

"Nanti saja ceritanya. Kamu sekarang bersihkan dulu badan kamu. Entar keburu terlalu kedinginan," Bibi Fatonah memberikan handuk pada Kemala.

Kemala lekas menerimanya serta bergegas menuju kamar mandi.

"Air hangatnya masih ada di ember sisa mandi Yasa barusan," kabar Bibi Fatonah menambahkan.

"Sebentar lagi adzan maghrib, Abi mau ke masjid dulu. Biar nanti malam selepas sembahyang isa kita bicara baik-baik dengan Kemala," ujar Paman Thaabi pada istrinya.

"Bagaimana kalau kami beserta Kemala mendahului Abi makan?" tanya Bibi Fatonah.

"Tidak apa. Kasihan Kemala habis hujan-hujanan. Pasti dia sangat lapar sekali. Kalian makan saja sertai Kemala. Kalau dia tanyakan soal Abi makan belumnya, jawab saja sudah. Jangan sampai menunggu Abi pulang dari masjid," pesan Paman Thaabi memberikan kebijakan kepada istrinya.

"Terima kasih Abi. Maaf jika kami mendahului Abi makan. Oh ya ini payungnya," Bibi Fatonah menyerahkan payung pada Paman Thaabi yang sudah berdiri di ambang pintu keluar.

"Assalamualaikum," Paman Thaabi pun segera beranjak pergi setelah membukakan payungnya.

Bibi Fatonah seraya menjawabnya sembari menutupkan daun pintu.

"Yasa!" panggil Bibi Fatonah.

"Ya Umi. Yasa di kamar sedang pakai baju," teriak Yasa dari kamarnya.

"Apa kamu tidak akan ke masjid?"

"Enggak ah, berjamaah bersama Umi saja di rumah."

"Nuraini kemana?"

"Lho, bukannya Umi sama Abi yang ada di rumah? Kok nanya sama Yasa sih!" Yasa heran.

"Tadi katanya mau mengikuti kamu ke rumah Bibi Hasanah."

Lihat selengkapnya