Matahari mulai bergeser ke arah utara. Terbitnya seakan kian kelihatan dari hari ke hari bergerak kian meninggalkan kutub selatan. Bulan lalu fajar itu menyingsing tepat di antara pohon sirsak dan srikaya yang tumbuh di pinggir rumah sebelah timur. Pagi itu tampak jelas muncul sebelah kiri pohon sirsak yang tumbuh sebelah utara pohon srikaya.
Kemala sehabis shubuh sudah terduduk di bangku yang terbuat dari bambu yang terletak di bawah pohon sirsak. Bangku hasil karya Yasa beberapa bulan lalu mungkin juga tahun lalu jauh sewaktu musim kemarau. Kreatifitas Yasa diluar pengetahuan Kemala. Karena waktu itu ia belum singgah di rumah itu. Kemala masih seorang pelajar SMA di sebuah kota yang cukup ramai. Kota Depok.
Kemala berada di pelosok perkampungan kota Bandung itu sejak enam bulan lalu seusai tamat SMA-nya. Bukan karena perintah ibunya saja dia tinggal disitu tetapi pula termasuk keinginannya juga. Kemala merasa betah berada dalam lingkungan keluarga pamannya itu. Sudah harmonis, juga perhatiannya yang sangat toleran terhadap pribadi anggota keluarganya.
Paman Thaabi dan Bibi Fatonah selalu sekedar mengingatkan mana yang baik dan mana yang tidak. Dia tidak pernah memaksa Kemala untuk menuruti apa yang sekiranya baik menurutnya.
Lihat saja Yasa, sukanya main hampir tiap hari. Jarang-jarang sampai seharian dia menghabiskan waktunya di rumah. Tapi Paman Thaabi tidak mempermasalahkannya selagi masih menjaga peraturan di rumah. Bukan berarti Yasa tidak pernah mendapatkan teguran dari orang tuanya, sekali-kali Kemala juga suka mendengar Paman Thaabi mendakwa putranya itu. Tapi uniknya, Paman Thaabi serasa tidak pernah kedengaran marah. Dia bicaranya suka santai, lebih menjurus sebagai orang yang sedang menasehati bukannya sikap seorang yang emosi.
Juga yang Kemala kagumi, belum pernah menyaksikan Paman Thaabi secara di depan matanya membenarkan kekeliuran anaknya itu. Kecuali sebatas mendengar samar atau kepergok, itu juga suka segera mengalihkan permasalahannya kalau kebetulan Kemala atau yang lain memergokinya.
Demikian pula terhadap Nuraini. Kemala suka dengar dari mulut Nuraini sendiri ketika ia sedang curhat. Mungkin pula dengan Bibi Fatonah. Tapi anak-anaknya baik Kemala, Nuraini maupun Yasa sepertinya mereka belum pernah mendengar Paman Thaabi marah terhadap Bibi Fatonah. Paman Thaabi sangat menghormati istrinya. Ia suka bicara hati-hati kalau seandainya ada sesuatu yang tidak disukainya atas sikap Bibi Fatonah. Begitupun Bibi Fatonah, meskipun terhadap anak-anaknya suka agak cerewet tetapi belum pernah kiranya mengomeli apalagi bicara yang kasar-kasar pada Paman Thaabi.
Sungguh mungkin Kemala merindukan keluarga yang seperti itu. Dia ingin belajar hidup yang benar. Hingga dengan kesadarannya iapun memakai kerudung dan serba tertutup dari auratnya. Yang siapa tahu sewaktu SMA-nya dulu ia tampil sedikit vulgar. Apalagi SMA-nya itu tidak memberikan tata tertib khusus batas-batas berseragam. Tak terlepas pula dari lingkungan keluarganya yang mungkin sangat jauh dari cerminan agamanya yang baik.
"Pagi-pagi banget udah nongkrong disini," Yasa ikut duduk di samping Kemala.
"Mencari hawa segar. Hampir sebulan penuh saya numpi di rumah meriangan," sahut Kemala.
"Sekarang gimana udah baikan?"
"Alhamdulillah. Meskipun masih sedikit pusing," ujarnya.
"Kakak tidak punya rencana kembali ke kota?" tanya Yasa ikut memperhatikan sorot mata Kemala ke upuk awan merah di langit timur.
"Apa Yasa mau ikut?"
"Enggak. Tapi, ya gitu deh kalo boleh. Soalnya Yasa lihatin Kak Kemala merasa betah banget ada disini."
"Tentu saja. Saya sedang belajar memperbaiki diri. Saya ingin belajar dari Paman Thaabi dan Bibi Fatonah yang sudah saya anggap sebagai ayah dan ibu saya sendiri," kilah Kemala.
"Kenapa Kak Kemala tidak melanjutkan kuliah?"
"Apa sih yang saya ingin cari lagi? Bukankah akhir dari kuliah itu saya harus bekerja buat cari uang? Sementara uang dalam takaran keluarga saya saat ini sepertinya bukan sesuatu yang sangat penting lagi untuk dicari. Sudah lebih dari cukup membiayai hidup keluarga juga dua tiga keturunan selanjutnya."
"O..." Yasa menatap Kemala.
"Bukan berarti saya ingin bergantung kebutuhan hidup selamanya dari orang tua. Tetapi sepertinya kalau saya sampai melanjutkan pendidikan, mungkin tidak akan pernah mengecap indahnya hidup disini. Bagi saya mengenal Paman Thaabi dan Bibi Fatonah merupakan sebuah hidayah besar. Meskipun masih ada sedikit kecewanya..."
"Kecewa? Dari segi apanya?" Yasa memotong dengan roman mukanya yang agak heran.
"Kecewa karena masih ada anggota keluarganya yang kurang sesuai dengan pribadi baiknya."
"Maksud Kak Kemala ...?"
"Yasa. Yang hidupnya kurang teratur," tandas Kemala.
"Lho kok gitu sih ngomongnya? Tega banget sih Kak. Ngomongnya di depan muka orangnya lagi!" Yasa sedikit mengerucutkan bibirnya.
Kemala tersenyum meliriknya, "Lebih baik di depannya daripada di belakangnya. Buat apa saya ngegosipin Yasa dari belakang, tak ada untungnya bukan ngumbar kejelekan orang? Sudah gitu, dosa lagi. Kalau langsung pada orangnya kan setidaknya ada masukan demi memotivasi dirinya ke arah yang lebih baik."
"Oke deh Yasa denger. Tapi menurut Kak Kemala, sejelek apa sih perilaku Yasa di mata Kak Kemala?"
"Yasa sendiri kok yang tahu. Saya hanya sebatas ngasih penilaian terhadap perbuatan kesehari-harian Yasa di rumah saja. Setahu saya Yasa itu emang sih orangnya rajin shalat dan ngajinya. Pengertian pada keluarganya juga perhatian terhadap lingkungannya. Rajin bersih-bersih. Sepertinya Yasa orang paling sensitif terhadap kebersihan rumah ini. Tapi sayangnya, Yasa itu agak-agak bandel dan sedikit manja," Kemala memberikan penilaian secara objektif terhadap Yasa.
"Thanks ya atas penilaiannya. Kak Kemala ternyata orangnya jujur. Kak Kemala tidak tahu apa watak Yasa yang mudah emosional?"
"Tahu juga. Soalnya kalo Yasa pulang telat agak maleman dari mainnya itu udah pasti semalemnya dapat teguran dari Abi. Iya, kan?"
"Iya sih," Yasa tersenyum lucu atas apa yang didengarnya dari mulut Kemala.
"Tapi anehnya Yasa gak pernah berusaha ngebela diri didepan Abi."
"Tak akan pernah terjadi hal itu dilakukan Yasa terhadap Abi."
"Kenapa?" Kemala menatap Yasa.
"Semua teguran Abi itu sesuai dengan perbuatan yang Yasa lakukan. Nyaris sempurna Abi tahu segala hal buruk tentang Yasa. Yasa juga suka heran kok Abi tahu darimana dan dari siapa gitu. Hingga dengan ke sok segala tahuannya itu Yasa suka penasaran ingin menguji sampai dimana batas ketahuannya tentang Yasa diluaran.
Anehnya Abi suka tahu juga, meskipun tidak sejelasnya ia bilang Yasa gimana-gimana gitunya. Tapi omongannya suka menjurus ke hal-hal yang berkenaan dengan perbuatan yang sudah Yasa lakukan. Yasa salut pada Abi, tidak seperti pada Umi yang bisanya ngomong nyaring saja tanpa begitu tahu percis kejadiannya," tutur Yasa menilai orang tuanya.
"Emangnya Yasa suka ngelakuin apa saja di tempat permainan?"
"Emangnya penting gitu pengen tahu kebiasaan Yasa di luar rumah? Atau mungkin sebagai bahan ajuan buat mengadukannya pada Abi dan Umi?"
"Terserah bagaimana pendapat Yasa aja. Mungkin iya mungkin enggak," Kemala tertawa geli.
"Yasa percaya sama Kak Kemala. Gak bakalan ngomongin sama siapapun kan, termasuk sama Nuraini. Tak lebih tak kurang lah Yasa sering melakukan hal-hal yang sama dengan anak-anak lainnya. Namanya juga remaja, Yasa senang mengikuti arus kenakalannya. Tapi masih dibatas kewajaran. Yasa juga tahu diri kok. Yasa masih menjaga nama baik keluarga. Yasa pesta-pesta sama teman yang dapat dipercaya saja enggak sampai terang-terangan didepan keramaian," kilah Yasa membongkar sedikit rahasia pribadinya.
Kemala menarik nafas panjang mendengar penuturan adik sepupunya itu.
"Termasuk tadi malam itu. Yasa pulang larut malam bukan berarti malam kemarinnya diomelin sama Abi melainkan Yasa takut Abi marah kalau sampai Abi tahu Yasa habis minum.
Kalau pulang larut malam kan Abi sudah tidur. Jadi Yasa langsung ke kamar tanpa bercakap-cakap dulu sama orang rumah.
Soalnya kalau Abi melihat kejanggalan sikap Yasa di matanya, tak segan-segan Abi mencengkeram tangan Yasa sampai Abi tahu apa yang sudah Yasa lakukan. Kalau Yasa tidak lekas mengaku maka mungkin Abi tak akan pernah melepaskannya sampai kapanpun.
Daripada Yasa ketakutan dalam tatapan matanya yang sangat tajam melebihi mata gagak itu, lebih baik Yasa jujur saja. Dan Abi lebih menghargai kejujuran Yasa daripada menghukumnya. Setelah ngaku baik-baik Abi tidak nempeleng Yasa, ia paling mengingatkan dan ngasih nasehat.
Emang sih Abi orangnya sangat super baik banget. Bawaannya Yasa selalu takut saja bila berhadapan dengannya. Wibawanya itu yang dingin dan serem, tapi ramah dan menyenangkan."
"Saya tidak pernah menyangka orang sealim Yasa kalau di rumah ternyata orang liar juga kalau diluaran. Apa masih kurang didikan Abi yang sebegitu lembut dan bijaknya menyikapi bertolak belakangnya perilaku anaknya? Atau mungkin Abi perlu merubah strategi mendidik putranya dengan kekerasan agar dia takut serta menurut dan taat hukum agama? Jika dengan cara baik-baik Yasa tidak juga jera dan malah merasa dimanjakan atasnya," celoteh Kemala sedikit mencibir dan menyudutkan Yasa.
Yasa menatap langit pagi yang membiru. Fajar mulai beranjak naik di ketinggian tiga puluh derajat. Apakah sama langit jiwanya juga sebiru langit pagi itu yang terserpih pesona terang dan hangatnya sang fajar?
Yasa tersenyum kecut. Ada perasaan bergejolak di hatinya. Ada sesuatu yang berkecamuk di batinnya. Tapi Kemala tidak tahu. Apakah Yasa merasa tersentuh dengan omongannya? Atau mungkin Yasa merasakan sesuatu hal yang lain yang tiba di jiwanya pagi itu.
"Yasa tersinggung dengan omongan saya?" tanya Kemala damai.
"Enggak. Yasa malah ngucapin makasih atas masukannya," Yasa tersenyum menampakan keteduhan hatinya.
"Oh, ya Umi sudah masak? Saya ke dapur ya."
"Tak usah lah. Lebih baik kita ngobrol saja disini. Ada Nuraini kok yang ngebantu Umi masak."
"Saya gak enak sama Umi dan Nuraini," Kemala hendak beranjak.
"Apa Kak Kemala masih meragukan ketulusan setiap perlakuan Umi dan adikku itu?" Yasa memegang lengan Kemala menahannya agar tidak jadi pergi.
Kemala menoleh Yasa yang menatapnya aneh. Kemala melihat lengannya yang di genggam Yasa, "Kenapa sih?"
"Yasa lagi pengen ngobrol sama kak Kemala," Yasa belum juga melepaskan pegangannya karena Kemala masih dalam posisi berdirinya.
"Kasihan Nuraini entar kesiangan."
"Bagaimana mungkin dia sesiang ini masih ada di rumah kalau ia mau sekolah? Sakit beberapa hari saja sudah tidak hapal hari ini hari apa. Ini hari, hari minggu tahu."
Setelah sekilas melihat ke rumah. Kemala lalu duduk kembali di tempat tadi, Yasa pun segera melepaskan pegangan tangannya.
"Masih pengen ngomong apa?" Kemala seakan menantang percakapan untuk segera dimulai.
"Apa saja. Tidak ada salahnya kan?"
"Kapan Yasa mau nikah?" tanya Kemala mengejutkan.
Yasa tertawa geli sekali sambil menatap wajah beningnya Kemala, "Kak Kemala nanyanya tak ubah seperti pertanyaan Abi belakangan ini."
"Apa tidak sebaiknya kita melangsungkan pernikahan bareng saja?"
"Kak Kemala bercanda kan? Maksud Kakak kita kawin. Emangnya Kak Kemala suka sama Yasa apa?"
"Semula sih, ya pertama kita ketemu saya gak tahu gimana langsung ser saja melihat penampilan Yasa. Sosok pemuda yang ganteng dan sempurna lah untuk ukuran ketampanan seorang pria. Saya juga agak terkejut ketika tahu sebenarnya Yasa itu anaknya Abi.
Coba saja lihat perbedaannya. Abi itu meskipun tak kalah tampan, tapi paras wajahnya asli Indonesia banget. Tidak seperti Yasa yang postur tubuhnya tinggi juga wajah yang kearab-araban."
"Kak Kemala jangan ngelebih-lebihin gitu dong akhirnya. Gak usah bahas penampilan fisik Yasa. Yasa juga tahu kok. Yang Yasa ingin denger apa sebagai seorang gadis Kak Kemala benar-benar suka sama penampilan Yasa tidak?"
"Begitulah. Tapi jangan pikir negatif dulu dong. Kita ini kan saudara sepupu. Ya harus bersikap sewajarnya saja sebagai saudara. Lagipula tidaklah mungkin saya mengharapkan sosok pria seperti Yasa."
"Kak Kemala pasti tidak suka dengan kebiasaan buruk Yasa ya?"
"Emang. Dan karena saya ingin mendapatkan jodoh yang baik perilakunya demi membawa pencerahan buat masa depan hidup saya juga akhiratnya ..."
"Yasa juga jamin bisa berubah kok. Bisa jadi suami yang baik buat Kak Kemala," potong Yasa serius memusatkan pandangannya pada Kemala dengan sebuah pengharapan yang sangat besar.