Di suatu desa ada seorang anak laki-laki tunggal berusia delapan tahun, bertanya kepada Ayahnya, “Wahai Ayah, ceritakan padaku tentang Buku Al-Baktih itu! Tepati janjimu minggu lalu, Ayah!” Karena janjinya, Ayah lantas menceritakan tentang Al-Baktih itu.
Ayah bercerita: Dua puluh tahun silam, penjajah datang tiba-tiba dengan bersenjata lengkap. Mereka membakar habis semua buku-buku dan kertas-kertas. Pun, kertas-kertas kosong mereka bakar. Adalah orang tak bermoral mereka yang menjajah desa kita. Mereka pula penyebab rakyat Desa menjadi tak bermoral. Hingga sekarang Buku Al-Baktih itu tak lagi diakui, karena mereka nyaman dengan budaya tak bermoral si Penjajah itu.
“Artinya, cepat atau lambat cerita-cerita dalam Buku itu akan hilang, bukan begitu Ayah?” tanya sang Anak. “Tentu saja, jika kita tidak menjaga dalam ingatan,” jelas sang Ayah. “Namun mereka yang sudah tua yang tahu kisahnya, mereka tak kan mampukah mengingatnya, Ayah,” kata sang Anak. “Dari itu, dapat dipastikan yang bisa menuliskan kembali buku itu hanya pemuda sepertimu, Nak,” jelas sang Ayah. Sang Anak bertanya lagi, “Apa yang tertulis dalam buku itu yang membuat buku itu terdengar suci, Ayah?” Ayah menjawab sambil bersiap untuk tidur, “Kisah-kisah yang bermoral.”
Sepuluh tahun kemudian...
Sang Anak yang beranjak dewasa, sedang berada di pasar. Ia membeli beberapa makanan. Di sana ia melihat pencuri dan kecurangan pedagang yang biasa terjadi, ia mulai jemu dengan hal itu.
Di pertigaan menuju jalan pulang, matanya tergerak pada seseorang seusianya yang tiba-tiba terjatuh dari arah kanan, tepat lima langkah di depanya. Ia membiarkan orang itu terjatuh. Seketika seseorang dari arah kanan pula, dengan puas mendorong ia, hingga menimpa orang yang terjatuh tadi. Makanan yang telah ia beli pun terjatuh. Dengan berusaha tenang, ia teringat Buku Al-Baktih itu, hingga melupakan makanannya. Lalu, ia membantu orang itu dan mengajaknya ke rumah. Surya berkata, "Ayahku sedang mengurus kebunnya."