Al-Baktih

Bibih Aqbil
Chapter #2

Dani

“Aku Surya, Surya Purnama. Siapa namamu?” tanya sang Anak kepada orang asing itu. “Dani,” jawab singkatnya dan terlihat keheranan. “Engkau orang aneh, membawa orang asing ke rumahmu sendiri,” lanjut Dani. “Apa yang aneh, aku tahu namamu. Aku tahu kau tak berdaya di hadapan orang bengal itu,” balas Surya. “Kau tahu orang itu? Dia tak sendiri,” tanya Dani. "Adalah banyak mereka yang bengal itu, mereka kehilangan moralnya, Dani," jawab Surya. "Apa maksudmu mereka kehilangan moralnya?" tanya Dani lagi. "Tak tahu kau engkau, wahai Pemuda. Tentang Penjajah bengis yang membawa budaya mereka yang sekarang dilakukan oleh rakyat desa?" tanya Surya balik. Surya melanjutkan, "Mereka juga membakar Al-Baktih." Dani bertanya sedikit lebih tinggi, "Sekarang, apa yang dimaksud dengan Al-Baktih?" Surya menjawab dengan nada pelan, "Pemuda, Al-Baktih adalah sebuah buku yang berisikan kisah-kisah bermoral, yang harus dibaktikan." Balas Dani, "Tidak, aku tidak percaya Al-Baktih itu. Karena aku pernah mendengar satu dari kisah di dalam buku yang bermoral mungkin yang dimaksud adalah buku Al-Baktih itu." Tanya Surya, "Bagaimana kisahnya, Dani? Ceritakan padaku!" Dani balik tanya, "Untuk apa, Surya? Kisah itu umpama manisan dari buah yang asam." Jawab Surya percaya diri, "Dani, kisah-kisah itu akan ku tulis kembali dalam buku, untuk memperbaiki moral rakyat desa. Ceritakan padaku, Dani!"

Dani diam sejenak, dan bercerita: Seseorang musafir yang baru pulang. Dia penduduk sekitar situ, sedang duduk di naungan bayang pohon, di sisi jalan. Seseorang ini sedang merebahkan kakinya dan memejamkan matanya. Tak lama, terdengar entakkan langkah seseorang dari arah Barat. Orangnya memakai jubah merah dan kancing bajunya dari emas. Langkah itu kian mengeras, menyebabkan ketenangan orang yang sedang duduk itu terusik.

Orang yang sedang duduk berkata dengan marah, “Hay Tuan, bisakah engkau melangkah dengan langkah layaknya orang waras?” Orang yang berjalan itu berhanti, dan memalingkan wajahnya kepada orang yang sedang duduk, namun badannya tidak berputar. Orang yang berdiri menjawab sambil meninggikan kepalanya, “Engkau keberatan tuan yang sedang duduk? Langkahku sesuai jabatanku.” Orang yang duduk menyangkal, “Tuan, menganggu ketenanganku, mungkin demikian yang terjadi terhadap orang lain yang telah Tuan lewati. Apa eloknya dengan langkahmu itu?” Orang yang berdiri menjawab, “Aku terpandang dengan langkahku, mata-mata tertuju padaku.” Orang yang duduk menyangkal lagi, “Mata-mata itu adalah mata-mata yang terusik sama sepertiku. Mereka diam karena mereka tahu, suara lembutnya tidak lebih keras dari langkahmu. Andai mereka menyapamu, engkau tak kan mendengarnya karena langkahmu menutup telingamu. Tak kan pula kan menembus bumi dengan langkah itu. Yang ada engkau terjatuh pada lumabng keledai.”

Lihat selengkapnya