Pagi ini Uge sedang mengawasi proyek pribadinya. Ia tampak tidak fokus pada pekerjaannya. Para tukang heran melihat Uge jadi sering bengong dan senyum-senyum sendiri. Ternyata di dunia Widi, dia juga sedang mengalami hal yang sama seperti Uge.
Chatting tadi malam ternyata sangat berkesan untuk keduanya, sehingga mereka terus mengingat setiap detail percakapan hingga tidak peduli dengan suasana di sekitarnya..
*****
Inilah sepenggal cerita tentang tadi malam.
“Hai Widi,” sapa Uge.
Hampir saja Widi menutup situs tersebut, tetapi tiba-tiba dia teringat sesuatu. Bandung, 1999?
Kota dan tahun tersebut punya arti penting untuk Widi. Walaupun dia tahu Uge tidak mungkin berada di tahun 1999, tetapi siapa tahu dia memang berada di Bandung pada waktu lima tahun yang lalu. Setelah diam agak lama, Widi pun mengetik. “Hai Uge.”
Aduh! Widi mendadak menyesal menjawab sapaan Uge. Ia baru sadar, di dunia maya, orang bisa menjadi siapapun dan berani bicara apapun.
“Apa kabar dunia di tahun 2004?” tanya Uge.
Widi tambah malas membaca pertanyaan ini, ya sudahlah, tapi jangan berharap basa-basi ini bakal manjang.
Widi mengetik. “Kabarnya gitu-gitu aja, dengan bertambahnya tahun, paling cuma ganti penguasa, muncul teknologi baru dan nambah populasi.”.
Jawaban Widi malah membuat Uge merasa ditantang berdebat.
“Enggak gitu-gitu aja dong, itu kan juga perubahan.”
“Iya kalo dicari-cari ya banyak, sedetik aja pasti udah terjadi perubahan, seenggaknya posisi jarum detik pada jam udah bergeser dari tempat semula,” jawab Widi.
“Kamu penjinak bom? Sedetik aja dibilang bisa membuat perubahan,” balas Uge.
Nyolot nih orang, ujar Widi.
“Mas! Kalo mau tanya masa depan mending pelihara tokek. Dia tahu kamu bakal kaya atau miskin.”
Uge tertawa. Ia semakin bersemangat menghadapi lawan bicara yang benar-benar mirip dengan dirinya sendiri. “Inikan diskusi lintas waktu, pertanyaannya enggak boleh standar dong.”
“Justru pertanyaan lintas waktu kamu terlalu standar,” ejek Widi.
“Coba gantian, kasih pertanyaan enggak standar ke orang masa lalu?” tantang Uge.
“Oke. Kamu bisa bantu nemuin aku di tahun kamu enggak? besok aku mau ngomong langsung sama diriku sendiri.”
Uge kagum dengan pertanyaan Widi, ia jadi semakin tertarik mengenal Widi. “Kasih info lengkap aja, dimana aku bisa cari kamu di tahun aku.”
Kenapa justru malah manjang? gumam Widi gusar.
Widi mengetik. “Sori deh, biar basa-basi ini enggak lama. Aku enggak percaya kalo kita beda waktu.”
“Aku juga enggak percaya,” sahut Uge.
“Bagus, karena sama-sama waras, jadi enggak ada yang perlu kita obrolin, aku pamit ya?” pinta Widi yang ingin segera mengakhiri chatting secara sopan.
“Tunggu Wid. Maaf, aku bener-bener lagi butuh teman ngobrol. Boleh ya?”
Widi sebenarnya enggan, tetapi ia menghargai Uge yang sopan. “Oke.”
“Makasih Wid. kita kenalan dulu yuk. Nama panggilanku Uge, tinggal di Bandung, masih kuliah tingkat akhir di ITB, insya Allah sebentar lagi lulus. Kamu?”
ITB? Informasi Uge membuat Widi tertarik, ia memang ingin tahu kabar tentang ITB dan Bandung.
“Nama panggilanku Widi, baru lulus dari Universitas Berdikari di Jakarta, tapi udah 3 tahun kerja jadi arsitek. Kamu di ITB, angkatan tahun berapa?”