Kosan Bodas, Bandung, 1999
Malam hampir berganti pagi. sayangnya nikmat Tuhan berupa rotasi bumi, yang membuat kawasan pegunungan ini telah sepertiga malam mendapat jatah gelap, bukanlah peristiwa alam yang luar biasa untuk penghuni kosan Bodas. Padahal, kalau kita belum mampu mengunjungi Tuhan melalui sujud tengah malam, setidaknya cobalah syukuri itu dengan tidur.
Begitulah ungkapan hati manusia unik yang biasa dipanggil Uge di kosan Bodas. Menurutnya, malam di kosan Bodas adalah waktu dan tempat terbaik untuk merencanakan hal-hal besar. Sayangnya suasana ini selalu dirusak oleh orkestrasi kegaduhan para penghuni yang mengisi malam dengan berbagai kesenangan, seolah meyakini bahwa masa depannya telah dijamin negara.
Anak-anak kos yang sebagian besar mahasiswa menjalani waktu terbalik. Saat langit terang mereka tidur, mungkin karena bisa titip absen atau menyuap oknum dosen dengan biskuit Khong Guan. Setelah langit gelap, barulah mereka dibangkitkan. Saatnya untuk menunjukkan hasrat berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat dengan suara lantang.
Mereka selalu membentuk kluster-kluster kelompok kepentingan, sehingga tayangan Layar Emas RCTI-pun tidak sanggup menyatukan mereka.
Halaman kosan Bodas sangat luas dan penuh pohon rindang. Di sana ada sebuah batu besar hitam yang unik. Uge sangat mengagumi keindahannya, sementara para penghuni lain malah menjadikan sebagai alas jemuran. Justru pohon yang paling besar malah menjadi area sakral untuk kaum santai dalam menjalankan ritualnya. Tempat ini menjadi satu-satunya area yang tidak terlalu terkontaminasi polusi suara, tetapi ada sedikit polusi udara dari lintingan asap yang hisap secara bergantian. Mereka memang sedikit bicara, tetapi banyak tertawa, itupun pelan. Di sini waktu seolah melambat. Jangankan bergerak lincah, menyelesaikan satu kalimat saja sulit. Mereka bicara terseret-seret sehingga butuh waktu lebih lama, bahkan sering kali sudah tertawa sebelum selesai.
Teras kosan Bodas merupakan tempat untuk penghuni yang suka bernyanyi. Jangan membayangkan mereka adalah tongkrongan para musisi. Soal musik justru permainan gitar Uge lebih pantas disebut musik. Di sini keindahan suara ditentukan oleh seberapa jauh bisa terdengar. Mereka bernyanyi setengah berteriak dengan iringan gitar lapuk yang chord-nya selalu meleset. Saat penghuni cewek masih melek, mereka membawakan lagu-lagu metal, lengkap dengan melodi gitarnya segala, walau hanya terdengar bletak bletuk. Setelah tidak ada satupun cewek-cewek kos yang tertarik bergabung, mereka mengeluarkan idealismenya dengan membawakan lagu-lagu Iwan Fals. Lagu pesawat tempur menjadi senjata pamungkas untuk melampiaskan rasa kecewa. Di ujung malam, stamina mulai menurun, mereka kembali ke selera asal, dangdut is the music of my country. Justru dengan dangdut, audiens mereka bertambah, sayangnya bukan cewek.
Ruang utama pada bagian dalam rumah merupakan tempat yang mampu menampung berbagai kelompok yang berbeda aliran. Mulai dari penjudi, penggosip hingga pengamat politik merapat dengan kaumnya masing-masing di sini. Yang betah di kamar cuma Uge dan beberapa pasangan beda jenis yang meyakini bahwa nembak setara nilainya dengan ijab kabul.
Inilah kosan Bodas! Sekarang kita berkenalan dengan Uge.
Pertama kali datang ke kosan Bodas, anak Jakarta ini mengenalkan diri dengan nama Angga. Oknum yang merubah namanya adalah Bang Ucok, keponakan pemilik kosan ini.
Suatu malam di meja judi, Omen bertanya, “Uge teh saha? Si Angga?”
“Angga mana yang kau tanyak? Angga kan ada dua! Ha? Ha?” tanya Bang Ucok.