Al Kahfi Land, Depok, 2004
Manusia adalah makhluk pelupa. Sangat pelupa.
Cahaya matahari mengintip perlahan dari lereng bukit hutan pinus, walau masih malu-malu, tetapi sinarnya telah menyelip di antara dahan-dahan dan daun pohon yang rimbun, mengusir kabut yang masih menyelimuti sebagian bukit. Burung-burung berkicau merdu seolah menyambut segelintir pekerja yang telah datang.
Pagi di Al Kahfi Land terasa damai dan tenteram, tetapi tiba-tiba sebuah sedan mewah melaju kencang dan berhenti mendadak di depan lobi hingga mendecit. Sepertinya suasana ini akan segera berubah.
Petugas keamanan bernama Pak Jajat terkejut, terlebih lagi ia melihat mobil itu dikendarai sendiri oleh pemiliknya. Dengan sigap Pak Jajat membuka pintu mobil sambil menyapa Erlangga, walau ia tahu tidak akan disahuti, kemudian ia langsung menuju bagasi mobil untuk mengambil barang-barang yang biasa dibawa Erlangga sambil bertanya di dalam hati, biasanya kalo Pak Didi lagi enggak bisa nyupirin, Pak Bos enggak masalah. Kenape sekarang muke die keliatan kaya abis ngunyah cabe sekilo?
Wajah Erlangga memang terlihat lebih garang dari biasanya, ia bagai membawa dinamit yang sumbunya telah tersulut dan perjalanan titik baranya semakin mendekati sumber ledak.
Mata Erlangga menantang mata semua orang, seperti penembak jitu yang membidik sasaran. Beberapa karyawan yang tanggap situasi segera menunduk atau menyingkir sebelum berpapasan. Sungguh sayang, masih ada saja karyawan tak pandai membaca bahasa tubuh, ia malah menjilat di saat tak tepat.
"Wah, bapak. Semangat pagi, Pak Erlangga Yusuf. Mungkin ada yang bisa saya bantu?”
"Minggir! Enggak usah cengengesan aja kaya orang goblok!" maki Erlangga.
Karyawan kurang beruntung itu segera menyingkir, padahal sepertinya dia berharap mendapat pelukan hangat. Beberapa karyawan lain yang seolah sedang tiarap pun tertawa terpingkal-pingkal tanpa suara.
Biasanya Erlangga langsung menuju lift eksekutif menuju ruangannya di lantai paling atas, pagi ini ia malah berjalan menuju area kerja karyawannya.Para karyawan yang melihatnya langsung berdiri.
“Ini meja siapa aja, kenapa masih banyak yang kosong? Siapa yang bisa jelasin ke saya?" tanya Erlangga.
Nah! Ini baru saat yang tepat untuk menjilat. Satu! Dua! Ti .... Dor! Trio gosip berebut menjawab, mereka sangat lihai menyebut nama-nama, bahkan mengadukan kekurangan teman-temannya sendiri yang tidak ditanyakan.
Erlangga semakin gusar. "Kasih tahu ke manusia-manusia sampah itu, kalau udah enggak mau kerja, suruh keluar aja! Mana HRD? Panggil Santoso, Cepat!"
Priiit! Balap mencari Santoso dimulai!
Erlangga tidak suka menunggu, ia malah pergi mencari sasaran tembak di area kerja lain saat trio gosip memburu Santoso.
Satu korban terjaring di tempat lain, Erlangga menemukan pemandangan yang tidak disukainya, yaitu tempat kerja berantakan. Erlangga melempar kertas-kertas di meja karyawan malang itu.
"Lu tahu kerja di mana? Kakus kantor ini aja lebih bersih dari mejalu. Cari kantor lain!” bentak Erlangga.
Si pemilik meja membungkuk-bungkuk minta maaf, lalu tergopoh-gopoh merapikan mejanya.
Erlangga terus berpindah ke area-area kerja lain sambil menghujani telur busuk ke manusia-manusia tidak berdaya.
Baiklah, ada apa dengan Erlangga? Bukankah tadi malam ia seolah mendapat hidayah?
Ternyata memang ada sebabnya. Pak Didi mengambil izin cuti mendadak karena istrinya melahirkan. Erlangga pun memilih menyetir mobilnya sendiri karena ia tidak suka diantar oleh supir kantor lain. Memang bukan itu penyebab kemarahannya.