Kosan Bodas, Bandung, 1999
"Jam sabaraha iyeu, Kang?" tanya Uge sambil menghentikan permainan gitarnya saat Kang Ujang lewat.
"Jam salapan lewat, aya naon Den Uge?" sahut Kang Ujang.
"Kalo udah hampir jam sepuluh, punten ingetkeun urang, nyak," pinta Uge.
"Beres Den Uge. Saha nu hayang ngopi?" tanya Kang Ujang ke anak-anak kos lain yang sedang ngeriung bersama Uge.
"Jang, kau bikin aja buat semua! Mumpung ada Uge, kalo stok dapur habis, hehehe," sahut Bang Ucok sambil mengunyah martabak telor traktiran Uge.
Bang Ucok merupakan sosok paling senior di kosan Bodas. Selain dipercaya pamannya mengelola kosan Bodas, ia juga bekerja sebagai asisten pribadi pengusaha bule yang sangat kaya, tidak heran dompetnya tebal, walau bagian atasnya seperti dijahit alias pelit. Itulah sebabnya proposal pengadaan martabak atau kesejahteraan lainnya selalu ditujukan pada Uge, bukan pada Bang Ucok. Ada Uge, berarti ada jajanan.
"Tak usahlah tanyak-tanyak jam, betelor aja kerja kau di kamar," ledek Bang Ucok sambil tertawa terkekeh-kekeh dengan not yang sangat rendah.
Uge tersenyum sambil lanjut memetik gitar melantunkan instrumen jazz asik sendiri.
"Enak kali abang dengar kau main gitar klasik, macam dengar Ebiet," puji Bang Ucok asal sebut.
“Eta mah penyanyi pop, kalo gitaris jazz itu, Indra Lesmana,” timpal Omen sok tahu.
“Ah, sama-sama artisnya itu!” balas Bang Ucok.
Omen memejamkan mata sambil menggoyang-goyangkan kepala meresapi lantunan gitar Uge seolah penikmat musik jazz.
Bang Ucok tertawa. “Macam ngerti aja kau ini,”
“Ngertilah, Bang. Jazz itu mainnya emang asal-asalan, tapi karena pede, didengernya jadi enak,” ujar Omen serius.
“Sukak hati kau ajalah, Men,” sahut Bang Ucok.
Sialan! Dibilang asal-asalan, maki Uge di dalam hati sambil tersenyum geli.
Bang Ucok mengambil kartu remi. "Eee kawan! Siapa yang pande main truf? Bosan kali aku main remi! Ha? Ha?"
Bang Ucok memandang temannya satu-persatu sambil menggulung ujung kaosnya sehingga perut buncitnya terekspos, tidak peduli mengorbankan mata-mata malang yang terpaksa melihat aurat tak menawan itu.
"Enggak ada yang bisa, main remi aja, Bang," sahut Wawan sambil menjaga pandangan.
Bang Ucok memuntir bulu-bulu di perutnya. “Bah! Bantelah, remi pun jadi. Main kau, Ge?" goda Bang Ucok.
"Enggak suka, Bang," jawab Uge, ia masih asik sendiri dengan gitarnya.
Wawan, Omen dan Deden mendekat sambil menyiapkan seperangkat alat judi.
"Bah! Kalah pun, tak miskinnya kita. Bedosa pun, paling sikit aja, hehe. Mau abang yang tanggung? " goda Bang Ucok lagi.
Uge hanya tersenyum. Bang Ucok jadi semakin penasaran, ia mendekat, kemudian memegang pundak Uge sambil memijit-mijit kecil, sebenarnya memberi tekanan psikologis. "Ah, macam apa kali. Sekali-kali aja, hehe."
Uge menggeleng.
"Bah! Minum tidak, judi tidak, main cewek pun tidak. Monoton kali hidup kau! Macam warna cat kosan Bodas aja, hahaha!"
Ledekan Bang Ucok membuat anak-anak tertawa.
"Eh, ngetawain Uge aja kelen. Jangan gitulah.” Bang Ucok mengedipkan sebelah mata. “Tapi yang pendiam macam ini, biasanya lebih ngeri. Ada ceweknya di kampus, Wan?"
"Pernah liat ada cewek yang nyari Uge enggak?" tanya Wawan sambil cengengesan.
"Ha, itulah! Anak Jakarta, kuliah di ITB, teknik arsitekturrr tapi tak lakuuu. Hahaha!"
Terdengarlah ledakan tawa anak-anak kos, lebih tepatnya tawa cari selamat, agar cela-an Bang Ucok hanya menuju Uge dan tidak bergulir ke arah mereka.
Uge tetap santai memainkan gitarnya dan menanggapi serangan dengan senyum.
Bang Ucok mencolek dengkul Uge
"Ge, kau tengok Si Omen!" pinta Bang Ucok sambil menunjuk Omen dengan cara memajukan rahangnya.
Omen sedang membagikan kartu.
"Sudah mukaknya cekung macam sendok, kuliahnya pun tak jelas dimana," ledek Bang Ucok.