Kosan Bodas, Bandung, 1999
“Wid, satu-satu cara untuk ngebuktiin siapa di antara kita yang ngaco, hanyalah ketemu langsung! Kasih alamat kantor kamu, aku akan datang”.
“Ngapain dibuktiin segala?”
“Ya, selain untuk ngebuktiin, bukannya lebih enak kalo kita bisa berteman di dunia nyata?”
“Teleponan dulu aja. Buat mastiin manusianya ada.”
“Oke. Minta nomor kamu, Wid, biar aku telpon dari wartel.”
“Kelamaan. Kasih nomor telepon kosan kamu, biar aku aja yang telpon dari kantor.”
Widi menekan tombol nomor telepon sambil membaca tulisan di monitor. Terdengar suara nada panggil, ternyata langsung ada yang mengangkat. Widi senang karena misteri lintas waktu akan segera tuntas.
"Halo, assalamualaikum," sapa seseorang yang mengangkat telepon dengan logat khas Sunda.
"Wa’alaikumussalam, bisa bicara sama Uge?" tanya Widi.
"Den Uge, anak lulusan ITB?" tanya Kang Ujang.
Nah, ketahuan, udah alumni. Dasar! Omel Widi.
"Iya, ada?" Widi tersenyum lega, ternyata Uge tidak fiktif..
"Den Uge yang gondrong, tinggi, kasep, tapi awut-awutan?" tanya kang Ujang.
Widi bingung tetapi ia jadi punya tambahan informasi tentang Uge.
"Iya," jawab Widi sekenanya.
"Den Uge, nu alim seperti ustad, nu getol ka masjid?" tanya Kang Ujang.
Hmm, memang anak baik-baik, gumam Widi.