Jakarta, 2040
Perahu boat MWT (Mass Water Transportation) merapat di dermaga Tosari. Para penumpang alat transportasi air ini turun untuk melanjutkan perjalanan lewat darat menggunakan kereta MLT (Mass Land Transportation) di stasiun Dukuh.
Fahri menunggu semua penumpang turun sambil memandangi patung Selamat Datang yang berada jauh di seberang sana. Patung itu tampak kesepian terendam genangan air laut setinggi 2 meter, padahal dulu kawasan bundaran patung itu pernah menjadi tempat orang berwisata hingga unjuk rasa.
Fahri melirik jam tangannya, waktu menunjukkan pukul 11 malam. Ia berjalan menyusuri jembatan panjang yang berada di atas kawasan perairan Jendral Sudirman. Dulu genangan di bawahnya adalah sebuah jalan besar. Kini MWT dan perahu boat pribadi telah menggantikan kendaraan-kendaraan beroda yang pernah memadati jalan tersebut. Walau sudah hampir pagi, masih terlihat banyak alat transportasi air yang keluar masuk dari gedung-gedung tinggi di atas pulau-pulau reklamasi kecil.
Kawasan perairan dangkal berakhir di MH Thamrin Wall, bendungan yang berbentuk tembok mirip Great Wall of China, membentang dari ujung barat hingga ke ujung timur Jakarta, untuk membatasi genangan air laut agar tidak lagi menggerus wilayah Jakarta.
Jakarta sempat mengalami mati suri bagai kota hantu karena dampak kenaikan air laut dan menurunnya ketinggian tanah yang tidak pernah ditangani serius. Ditambah lagi, ibu kota negara juga telah pindah ke Bandar Lampung. Kondisi ini berubah setelah Andi Permana terpilih menjadi Gubernur Jakarta, sepuluh tahun yang lalu.
Gubernur Andi Permana berhasil membangkitkan Jakarta dengan bantuan arsitek kebanggaan Indonesia, Erlangga Yusuf dan pengusaha pemilik perusahaan raksasa Mind Group, Ali Tanjung. Mereka bertiga adalah tokoh dari Al Kahfi Land, sebuah kelompok kegiatan sosial yang sangat dikenal dan dicintai masyarakat karena sangat peduli dengan nasib orang-orang kecil.
Erlangga Yusuf menyulap wajah bagian Jakarta yang tenggelam menjadi kota air yang menakjubkan. Wilayah ini bernama Jakarta Kawasan Kota Air. Ali Tanjung mengembangkan Jakarta menjadi pusat bisnis di kawasan Asia Tenggara. Di tangan ketiga tokoh Al Kahfi Land itulah Jakarta menjelma menjadi kota megapolitan.
Sayangnya Andi Permana tidak mau lanjut terjun di dunia politik lagi setelah masa jabatannya berakhir, baik untuk kembali menjadi Gubernur, bahkan menjadi calon Presiden, padahal menurut pengamat politik peluangnya sangat besar, begitu pula Erlangga Yusuf dan Ali Tanjung yang memang tidak pernah berminat berada di dalam lingkar kekuasaan secara langsung.
Itulah sebabnya Presiden Anggito Suryo, penguasa sekarang yang sedang menjalani periode kedua, berhasil memenangkan pemilu presiden secara mutlak, karena pada saat itu namanya memang juga sedang bersinar.
Ternyata masa kekuasaan rezim Presiden Anggito Suryo malah membuat kondisi negeri ini menjadi masa pemerintahan terburuk.
Dia memang giat membangun, menata kota-kota lama dan melahirkan kota-kota besar baru, sayangnya ia juga menjadikan seluruh kota-kota besar itu hanya untuk manusia-manusia beruntung, para penguasa ekonomi.
Orang miskin jangan mimpi tinggal di kota-kota besar, bahkan mereka tidak boleh masuk, kecuali bagi yang bekerja untuk melayani tuan-tuan besar di sana.
Rezim ini memandang kemiskinan seolah kotoran, agar tidak menyakiti mata, maka disembunyikan di kolong karpet, tidak perlu repot memberesi. Para politikus busuk di lingkar kekuasaan rezim ini sadar, mereka hanya punya waktu 5 tahun. Pertarungan politik ala pedagang yang telah mereka lewati mahal ongkosnya, tentu harus segera balik modal dan meraup untung besar.
Para penduduk lama yang tidak layak berada di kota-kota besar diusir dari tanahnya sendiri, lalu dipindahkan ke rusun-rusun bersubsidi yang jauh dari pusat kegiatan ekonomi, agar tidak mengganggu urusan dan merusak pemandangan para tuan-tuan besar.
Kini negeri ini telah terbelah menjadi dua sisi. Para tuan besar sibuk saling menguasai, para jelata sibuk mengais sisa nasi.
Fahri telah sampai di stasiun MLT, ia menunggu Kereta MLT ekonomi yang akan membawanya pulang ke sisi wajah negeri ini yang sesungguhnya.
*****
Sebuah kereta MLT ekonomi telah keluar dari wilayah Jakarta. Di dalamnya, Fahri khusyuk membaca di dalam hati aplikasi Al Qur'an melalui ponselnya.
Kondisi semua kereta MLT ekonomi sudah tidak terawat. Beberapa lampunya sudah padam, sebagian yang masih bertahan tampak kelap-kelip menanti ajal. Lantainya kotor, dindingnya penuh coretan, kursi-kursi saling berhadapan pada kedua sisi kereta juga sudah banyak yang rusak.
Biasanya, pada waktu malam menjelang pagi, hanya sedikit orang yang berani duduk di gerbong belakang. Kali ini jumlahnya agak berbeda, bahkan baru kali ini Fahri melihat penumpang perempuan berani berada di sini.
Perempuan muda itu berada tepat di seberang Fahri. Ia duduk bersebelahan dengan seorang bapak tua yang terlihat mengantuk. Wajah perempuan itu terlihat gelisah.
Tiba-tiba Perempuan muda itu berdiri. "Kurang ajar! Heh! Jangan pura-pura ngantuk!"
Suara keras makian perempuan itu pada bapak tua membuat semua penumpang di gerbong belakang terkejut. Fahri mengantongi ponselnya, ia punya firasat buruk.
“Ada apa?” tanya bapak tua itu heran..
“Dasar tua bangka mesum!” maki perempuan itu.
“Eh, jangan nuduh sembarangan kamu!” bentak si bapak tua.
Wajah perempuan muda itu langsung kecut. Ia memandangi para laki-laki lain yang ada di gerbong belakang, berharap pertolongan.
Fahri membuang muka, begitu juga dengan penumpang lainnya yang tidak ingin ikut campur. Akhirnya beberapa laki-laki mau bangkit satu-persatu. Kini di hadapan bapak tua telah berdiri 3 pemuda yang siap melindungi si perempuan.