Kali Baru, Senen, Jakarta, 1993
Ali turun dari mobil Sandi. Sandi meluruskan parkir mobilnya. Ali menghampiri salah satu kios.
“Koh! Ini dia orangnya yang punya XPrint,” ujar Joko yang melihat Ali.
Laki-laki yang memakai singlet dan celana pendek itu membenarkan kacamata bulatnya yang terletak di ujung hidung untuk melihat Ali lebih jelas.
“Ah! Lu olang becanda, masa yang punya bocah?” ujar Koh Ahong pada Joko.
“Koh! Saya langsung aja ke tujuan. XPrint kan udah tiap hari ngasih order banyak cetakan. Gimana ya biar dapat harga bagus, masa saya harus pindah ke toko sebelah?” tanya Ali.
Koh Ahong terkejut mendengar ancaman Ali. Ternyata anak bau kencur ini memang pemilik bisnis dari toko yang belakangan sering memberikan banyak order.
“Eh, Joko! Palah lu olang! Ada tamu dali jauh, lu kaga kasih kita punya minum,” omel Koh Ahong, lalu ia tersenyum pada Ali. “Dudu dulu, lu olang mau minum apa, Bos?”
“Makasih, Koh. Kalo ada yang dingin dan berwarna,” pesan Ali sambil duduk.
Sandi menghampiri dan duduk di sebelah Ali.
“Dua, ya. Supir gue juga haus,” pinta Ali sambil tertawa.
Sandi tampak dongkol.
“Joko! Cepet ambil minuman dingin dua, buat kita punya bos!” perintah Koh Ahong.
Joko bergegas mengambil minuman dingin dari kulkas.
Koh Ahong tersenyum pada Ali. “Jangan gitu la, Bos. Kemalen kan Joko uda kasi halga paling bagus buat Esplin.”
Joko meletakkan minuman dingin di meja yang memisahkan Ali dengan Koh Ahong.
“Makasih Mas Joko. Oh, sayang banget ya, Koh? Ternyata itu udah harga yang paling bagus. Ya udah deh ….”
Ali berdiri. Sandi ikut-ikutan berdiri dengan wajah bingung.
“Hayya, dudu dulu la. Minum dulu bial lu olang punya kepala seju. “
Ali kembali duduk. Sandi pun ikut-ikutan.
“Gua punya payung, jam dinding, kaos, buku agenda, macam-macam la, lu olang pilih mau yang mana? Gua kasi hadiah glatis buat gua punya bos, ” tanya Koh Ahong.
“Koh, gue ini juga pedagang, cuma butuh harga bagus,” jawab Ali.
“Cincai la buat kita punya bos. Lu olang gua kasi diskon cakep, 2 pelsen!” ujar Koh Ahong.
Ali tertawa. “Gini aja. Kalo 30%, kita manjang, Koh.”
“Hah? Lu olang nawal apa mau ngelampok? Gua punya untung aja kaga segitu,” omel Koh Ahong.
Ali berdiri. Sandi dengan ragu ikut berdiri.
“Dudu dulu la. Lu olang jangan gitu sama pedagang kecil.”
Ali kembali duduk. Sandi pun ikut-ikutan dengan wajah dongkol.
Koh Ahong mengambil kalkulator, lalu sibuk memencet angka. Ali mengamati kegiatan anak-anak buah Koh Ahong. Koh Ahong meletakkan kalkulatornya.
“Bial sama-sama untung, gua kasih 10 pelsen. Gapapa gua dapat tipis, asal manjang.”
“Sebentar, Koh, mumpung saya inget. Mas Joko! Order gue kan tiap hari makin banyak, tolong naronya lebih rapi di mobil,” pinta Ali pada Joko.
“Oke, Bos!”sahut Joko.
“Maaf ya, Koh. kalo enggak rapih, takutnya enggak muat saking banyaknya, Gimana tadi, Koh? Biar manjang, gue cuma dikasih potongan 5%?” tanya Ali.
Koh Ahong menyeka keringat di dahinya. Ali meneguk minuman.
“10 pelsen! lugi-lugi dah gua!”
Ali mengangguk-anggukan kepala sambil menghabiskan minuman.
“Bentar, Koh. Mas Joko! Gue bingung nih, buat urusan yang gue bilang itu, mesin-mesin di sini siap enggak? Entar enggak kepegang, lagi.”
“Oh, buat 2 cabang XPrint yang mau Bos buka? Cukup! Liat aja itu, separoh mesin Koh Ahong kan masih nganggur,” sahut Joko.
“Wah, tenang gue kalo gitu. Maaf ya, Koh, maklum kita mau buka 2 cabang lagi. Eh, Koh, berapa tadi? Cuma berani ngasih 10% ya?”tanya Ali.
Koh Ahong kembali sibuk dengan kalkulatornya. Sandi langsung berdiri, tetapi Ali malah menarik tangan Sandi agar duduk kembali. Sandi menurut dengan wajah pasrah
“Lu olang gua kasi potongan 15 pelsen dah! Nanti kalo lu olang punya cabang uda buka, balu gua kasi 20 pelsen. Asal lu olang ga kasi ke tempat sebelah! Gimana?” tanya Koh Ahong.
Ali memandangi botol minumannya yang kosong. Ia pun mengambil minuman sandi dan menghabiskannya. Sandi dan Koh Ahong melotot.