Jakarta, 1996
Tidak terasa hampir satu tahun Ali bekerja di perusahaan Nico. Sarah tidak pernah menghubungi Ali karena rumah Ali memang tidak memiliki telepon, tetapi Sarah juga tidak pernah bisa ditelepon Ali dari wartel. Hubungan pacaran mereka jelas hanya status belaka.
Hubungan Ali dan Karin malah semakin akrab, tetapi keduanya tetap saling membatasi diri hanya sebagai sahabat. Kehadiran Ali sepertinya mampu membuat Karin semakin kuat menghadapi masalah kesehatannya, Karin tampak lebih bugar.
Sekarang Ali sudah punya tabungan yang cukup untuk kuliah. Ia ingin bertemu Angga, ia butuh lawan debat yang paling fokus pada pendidikan agar tidak salah memilih jurusan kuliah.
*****
Bandung, 1996
Jam 5.30 pagi Ali telah tiba di depan halaman kosan Bodas, tempat Angga ngekos. Ia memilih hari sabtu agar tidak mengganggu kuliah Angga.
Seorang yang rambutnya gondrong seperti Ali menghampiri. Ali tidak pernah memangkas rambutnya sejak lulus SMA. Anak-anak muda pada saat itu memang gemar tampil gondrong.
“Eh, gue kira Angga, sori rada mirip. Angganya ada?”
“Gue Angga,” sahut Agi.
“Hmm, maksudnya Erlangga. Ada enggak?” tanya Ali.
“Gue Erlangga,” sahut Agi.
Ali tertawa. “Kalo Erlangga Yusuf, masak lu juga?”
“Iya,” sahut Agi.
“Kalo Ujang ada? Pasti lu juga, hehe.”
“Oh, bilang atuh mau ketemu Kang Ujang? Gua panggilin dulu, ya,” sahut Agi.
“Eh, maaf, enggak usah! Gue emang mau ketemu Angga,” ujar Ali.
Seorang pemuda yang usianya lebih senior mendekat. “Uge masih di masjid.”
“Bukan Uge, Bang. Teman saya namanya Angga, dia anak dari Jakarta yang kuliah di ITB.”
Bang Ucok tertawa. “Tahu aku! Kawan kau dan manusia ini, udah mukaknya sama, nama lengkapnya sama, nama panggilannya pun sama pulak, hahaha! Makanya nama dua manusia ini kuganti. Uge dan Agi, hehehe. Kau tunggu aja dulu, sebentar lagi dia pulang.”
*****
“Agi singkatan agak giting, Uge singkatan ustad gondrong. Keren juga nama panggilanlu di sini, Ga” ledek Ali saat sudah bersama Angga di kamar kosnya.
“Terserah, Bang Ucok ajalah, hehe,” sahut Angga.
“Tapi emang rada mirip sih. Agi itu elu versi anak gaul. Jangan-jangan … mending lu temuin deh bapaknya Agi.”
Angga tertawa. “Jangan-jangan bapaknya Agi selingkuh? Cukup beralasan sih. Pantesan gue dibuang ke panti asuhan.”
Ali tertawa sambil memeriksa seluruh isi kamar Angga. Ada buku-buku arsitektur yang tebal-tebal, kertas-kertas gambar arsitektur, alat-alat pertukangan hingga komputer.
“Kamarlu keren, keliatan kalo ini kamar arsitek, tapi kenapa elu malah jadi berantakan? Udah dekil, awut-awutan, miara bewok lagi. Harusnya yang kelihatan kaya orang stres, kan gue?” ujar Ali.
“Ali Tanjung bilang, gue harus jadi pemilik perusahaan. Makanya, gue kuliah sambil ngumpulin modal.” Angga menunjukkan kertas gambar-gambar 3D arsitektur. “Tuh, gue garap proyek dimana-mana, sampe enggak sempet mandi. Ini proyek bikin kios factory outlet di Cihampelas, restoran di Kampung Daun, rumah di Dago, banyaklah.”
“Keren! Ini bikinnya pake komputer?”
“Iya. Pakai software 3D.”
“Komputer bukannya teknologi aneh? Buat ngetik tulisan aja harus repot ngapalin kode ini-itu. Makanya gue enggak pernah tertarik nyentuh komputer.”