Al Kahfi Land 3 - Delusi

indra wibawa
Chapter #1

Bab 1. Kesempatan Itu Langka

Jakarta, 1992

Ali duduk sendirian di bangku halte, menunggu bus. Saat melihat metromini di kejauhan, Ali segera mendekat ke sisi jalan.

Sang kondektur melihat Ali mengangkat tangan. Ia pun berteriak kepada sopir, “Ah, anak sekolah pulak. Tak usah kita angkut, Lae! Libas!”

Sopir metromini tersenyum kejam, lalu menginjak pedal gas lebih dalam. Brum! Metromini melaju kencang melewati Ali.

Suara mesin yang memekakkan telinga, tawa, dan lambaian tangan sang kondektur membuat darah Ali mendidih.

“Wah, nantangin gue?” maki Ali.

Pagi ini, Ali sudah berkali-kali ditinggalkan metromini. Dia tidak mau lagi menambah skor kemenangan lawan.

Ali mengepalkan tangan, matanya menatap tajam penuh amarah. Seketika, seragam sekolahnya telah berubah menjadi pakaian super yang ketat sehingga mencetak otot kekarnya, kepalanya juga telah terbungkus topeng yang menyembunyikan identitasnya. Namun, pakaian supernya belum memiliki logo di dada, karena Ali belum sempat memikirkannya.

Dengan satu hentakan, Ali melesat bagai peluru mengejar metromini. Gerakannya begitu cepat hingga meninggalkan jejak bayangan kabur, seperti putaran baling-baling kipas angin. Setiap injakan kakinya menghancurkan aspal menjadi kepingan, melambungkan puing-puing dan debu ke udara. Semua benda di sekitarnya seolah melambat, tak sanggup mengikuti kecepatan Ali.

Di dalam metromini, sang kondektur mulai panik. Matanya melotot melihat seorang jagoan super mengejar mereka. “Cepat tekan tombol rahasia itu! Aktifkan sayapnya!” jeritnya kepada sang sopir.

Namun terlambat! Dengan gerakan kilat, tangan Ali menyambar badan metromini, meninggalkan penyok besar di sisi kendaraan. Dengan sigap, Ali melompat ke atas metromini. Hap! Dia berhasil mendarat dengan sempurna masuk ke dalam.

Ali tersenyum penuh kemenangan. Dalam sekejap, pakaian supernya kembali berubah menjadi seragam sekolah.

Maaf, sebenarnya hal super ini ternyata hanya khayalan gila Ali saja—tidak nyata. Namun, dia memang berhasil menyambar pegangan pintu metromini dan berdiri di situ, meski dengan napas yang masih terengah-engah.

“Eh! Jangan di pintu kau, Lae! Jatuh nanti kau! Dalam! Dalam!” bentak sang kondektur dengan nada pura-pura peduli. Namun, di balik ucapannya, ia tampak kecewa melihat Ali berhasil masuk.

Lihat selengkapnya