Laut Jawa, Bulan Desember, Abad ke-17 Masehi
“Sudahkah kalian dengar kisah Tuhan mengutus juru selamat kepada manusia?”
Kedua mata Matteo de Gesù berpijar-pijar. Oleh matahari pagi, juga semangat yang berapi-api. Dia menatap para budak satu per satu. “Lebih dari seribu tahun lalu, Tuhan mengorbankan satu-satunya putra yang Ia punyai untuk menyelamatkan umat manusia dari dosa. Tidakkah kalian ingin mendengar kisahnya?”
Beberapa budak berkulit agak terang asal Malaka mengangguk-angguk. Mereka memahami bahasa Melayu Gesù yang berlogat aneh. Hampir selalu memantul pada ujung-ujung kalimatnya. Sedangkan, mereka yang berasal dari anak benua India, yang lebih gelap kulitnya, tersenyum-senyum menyentuh hati. Tidak mengerti, tetapi cukup terhibur dengan gaya bicara Gesù yang sepenuh jiwa. Juga, oleh kehangatan sikapnya. Amat berbeda dengan para tuan Belanda kasar yang mengangkut mereka dari Malaka, Pantai Coromandel, Malabar, dan Teluk Bengali.
Ketika duduk bersila pun, Gesù mencolok di antara laki-laki dan perempuan malang yang berkumpul melingkar. Dia menjulang sekepala. Orang-orang hanya setinggi bahunya. Rambut cokelat gelap Gesù tertiup-tiup angin geladak. Sedangkan, mata cokelat terangnya, selalu berbinar antusias seperti bocah yang serbaingin tahu. Kulitnya terang, tapi tak pucat. Penampilan seperti kebanyakan orang Eropa yang terhormat; berkemeja putih lengan panjang, celana panjang gelap dan bersepatu kulit.
Hampir seperempat abad sebelumnya, kapal Nieuw Seelant merapat di Batavia membawa seribu budak berkulit gelap dari Pantai Coromandel, India Selatan. Pada pagi yang terang berangin ini, kapal lain bernama Het Wapen van Rotterdam membawa misi yang sama, setelah sebelumnya singgah di Malaka.
Kapten Kapal membolehkan para budak naik ke geladak karena ini hari Natal. Mereka diberi sedikit hiburan. Menyaksikan camar-camar beterbangan sangat dekat, riuh rendah, memberi kemeriahan sederhana, ditambah cerita lelaki pengembara dari Italia.
“Kata malaikat itu kepadanya, ‘Jangan takut, hai, Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau namai Yesus.’”
Senyum Gesù terbuka, wajah begitu gembira, suara sejuknya menyelusup ke telinga-telinga. Petikan Injil Lukas ia pilih untuk membuka kisahnya. “Bermula dari seorang Perawan Suci bernama Maria. Beliau yang dipilih Tuhan untuk melahirkan melalui kehamilan perawan.”
“Perawan, tapi melahirkan anak?” komentar perempuan Melayu bekas penganut Hindu yang bertatap mata putus asa. Dia belum lama dibaptis di sebuah kebun milik Laurens Noronje berjarak setengah jam perjalanan kuda dari Malaka. Seorang pastor Protestan mantan pelipur orang sakit yang bekerja kepada Perserikatan Maskapai Hindia Timur, Vereenigde Oostindische Compagnie alias VOC, menjadikannya seorang Nasrani. Kecuali, beberapa ajaran kitab Katekismus Heidelberg berbahasa Portugis yang belum juga ia pahami, perempuan ini tidak tahu apa-apa lagi.
“Bagi Allah itu mudah,” Gesù berkata yakin, seolah-olah telah bertahun-tahun dia melatih jawabannya, “kehamilan itu terjadi karena Roh Kudus. Yesus terkandung dari Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria. Sedangkan, Maria terus menjadi perawan. Semper virgine.”
Tidak ada celetukan lain. Rupanya para budak itu cukup bersemangat untuk menyimak. Setidak-tidaknya, mereka tidak mengesankan hal sebaliknya.
Gesù menyungging senyum, “Pada mulanya adalah sebuah keluarga ….”
OPPQ
Palestina Utara, Abad ke-1 Sebelum Masehi
Di antara reruntuhan peradaban Raja Daud, sebuah kota Yahudi di Palestina Utara menjadi pusat wilayah tanah pendudukan Romawi: Galilea. Kota Yahudi itu bernama Sepforis. Sebuah titik keramaian di atas gunung kecil tak tersembunyi jika seseorang menatap dari desa-desa yang bertebaran di lembah-lembah dan bukit-bukit bermil-mil jauhnya, di sekeliling kota tua itu.
Palestina dalam kekuasaan Romawi kala itu terbagi dalam tiga kawasan; Galilea, Samaria, dan Yudea. Herodes Agung yang dijuluki ‘Raja orang Yahudi’ oleh Jenderal Romawi, Oktavianus, mendiami istana Yerusalem di Yudea, sebagai penguasa boneka dan hidup dalam kegelisahan sampai hari kematiannya. Herodes berusaha meyakini dan memaksa rakyat untuk memercayai haknya sebagai ahli waris takhta Yahudi. Sedangkan, siapa pun tahu, Herodes berdarah campuran. Ibunya memang seorang Yahudi, tetapi ayahnya keturunan Idumea.
Menjadi seorang laki-laki berdarah campuran tidak akan pernah cukup untuk memenangi hati Kaum Yahudi. Maka, Herodes menikahi Mariamne, putri bangsawan Hasmoni. Seabad sebelum Romawi menjajah Palestina, keturunan Hasmoni melahirkan keluarga Makabe yang menjadi penguasa di sana.
Itu pun tak cukup. Herodes tidak pernah dipercaya oleh rakyatnya sendiri. Benar-benar membuatnya gila. Dia lalu menghancurkan seluruh catatan silsilah keluarga-keluarga utama bangsa Israel. Keluarga-keluarga penting Yahudi selalu menyimpan silsilah keluarga yang tersambung hingga ke Raja Daud. Keluarga-keluarga itu menyimpan mimpi kelak bisa membangun kembali takhta Daud yang teberkati. Herodes menghancurkan mereka. Ketika usaha keras itu tetap tidak membuat ia diakui, Herodes lalu membunuh Mariamne malang itu.
Pada waktu Sepforis berada dalam genggaman penguasa mengerikan itulah, sepasang suami-istri yang telah menikah lama, Yoakhim dan Hanna, menjalani hari-hari mereka dengan doa. Mereka menyembah Tuhan yang beda dengan ilah-ilah sembahan penduduk Timur Dekat. Mereka memercayai Tuhan Yang Maha Esa dan tiada dua.
Suami-istri itu percaya Tuhan tidak mungkin menjalin hubungan dengan ilah lain, tetapi justru “bersentuhan” dengan makhluk-Nya sendiri, teristimewa manusia. Mereka mengimani Tuhan yang berjanji kepada Abraham bahwa keturunannya akan Ia jadikan bangsa besar. Bangsa yang diyakini bernama Israel. Mereka percaya sepenuh hati akan kedatangan Al-Masih. Seperti semua orang Yahudi yang beriman, Yoakhim dan Hanna akan menunggu Al-Masih hadir, sampai kapan pun sabar menunggu, setiap hari.
Suami-istri saleh itu bersembahyang tiga kali sehari. Syaharit: sembahyang pagi, minha: sembahyang siang, dan ma’rib: sembahyang malam. Tidak pernah melewatkan musaf: sembahyang tambahan pada hari Sabat dan hari-hari raya.
Mereka seumur hidup memelihara kosyer. Hanya makan apa yang dibolehkan hukum kasrut: halal-haram santapan dalam agama Yahudi. Mereka mendaraskan doa dan restu sedari bangun pagi, sebelum memakan apa pun dan melakukan apa pun. Mereka juga selalu datang ke bet keneset: rumah ibadat sekaligus tempat mendaraskan Taurat.