“Di Bait Suci, setiap orang mengantar qorbanot. Begitu juga Yoakhim. Kami juga menyerahkan anak-anak kami untuk melayani Tuhan di Bait Suci. Namun …,” Saudara Jauh menatap Hanna, memeriksa akibat perkataannya, “Imam Besar menegur Yoakhim. Sebab, dia satu-satunya di antara anggota rombongan yang tidak mempunyai anak.”
Mata Hanna menghangat. “Aku sudah mengatakan hal itu pasti akan terjadi. Yoakhim datang ke Bait Suci untuk mengucapkan nazar kami. Jika kami dikaruniai anak, kami akan mempersembahkan anak itu untuk melayani Tuhan.”
Saudara Jauh mengangguk. “Yoakhim sangat tertekan dengan teguran Imam Besar dan merasa malu untuk pulang ke Sepforis.”
“Malu?”
Saudara Jauh mengangguk. “Dia khawatir akan menjadi bahan olok-olok.”
Hanna menggeleng. “Mengapa dia sampai berpikir demikian, sedangkan kami sudah puluhan tahun hidup dengan keadaan ini?”
Bukan sebuah pertanyaan. Saudara Jauh mengerti itu hanya sebuah ungkapan kesedihan.
“Hanna. Aku hanya ingin menyampaikan hal ini agar engkau tidak khawatir. Yoakhim mungkin tinggal dengan anak gembala di luar kota. Beri dia waktu. Aku percaya dia pasti akan kembali jika pikirannya sudah jernih kembali.”
Hanna menghapus air mata yang melelehi pipi. “Aku akan menunggu,” kata Hanna, “terima kasih telah mengabariku.”
Saudara Jauh mengangguk. Dia memberi senyum yang kikuk. “Aku pergi, Hanna.”
“Silakan.”
Hanna menutup pintu tanpa memastikan tamunya sudah meninggalkan halaman. Dia lalu menyandarkan punggung ke pintu dan kembali tergugu. Dia pun telah menginginkan anak sangat lama. Itu menggundahkan hati. Namun, melihat betapa Yoakhim terbebani begitu rupa, tentang ketiadaan anak di antara mereka, membuat Hanna kian merasa sedih. Merasa bersalah. Merasa tak beruntung.
“Elyon, Allah Yang Mahatinggi, apakah masih ada kemungkinan untuk kami memiliki anak yang kami dambakan? Kami telah berjanji jika engkau beri kami seorang anak, kami akan menyerahkannya ke Bait Suci di Yerusalem.”
Telah tiba waktu sembahyang siang dan Hanna merasa sangat membutuhkannya. Dia meninggalkan pintu, berdiri tegak di tengah ruangan untuk melakukan amidah: doa sambil berdiri. Mengucapkan delapan belas doa, dan pemakluman iman.
“Syema Yisrael Adonai Eloheinu, Adonai Ehad,” bisik Hanna bersama air mata, “Dengarlah, ya, Israel, Sang Rabb itu Tuhan kita, Sang Rabb itu Esa.”
Dalam kepedihan yang begitu curam, menyakitkan, Hanna tiba-tiba merasakan kehadiran yang sangat tak biasa. Sesuatu yang baru dan asing. Seberkas cahaya terasa muncul di hadapannya. Cahaya yang bersuara.
Melebar mata Hanna, luruh segala daya. Dia merasakan ketakjuban, ketakutan, kebahagiaan, pada saat yang sama. Apakah malaikat hadir di hadapanku?
“Hanna …,” sebuah suara yang tidak bisa diurai, tidak bisa dikira-kira, tidak saja dekat di telinga Hanna, tetapi juga tak berjarak dengan kalbunya, “… jangan bersedih.”
Hanna sungguh-sungguh terpana. Mulutnya terkunci tak mampu berkata-kata.
“Seorang anak perempuan akan lahir darimu,” kata cahaya itu, “yang akan bernama Maria, dan akan diberkati dia atas seluruh perempuan.1 Maria akan dilahirkan secara mukjizati. Maria akan melahirkan anak atas kehendak Allah Yang Mahatinggi yakni Yesus. Dia-lah Penyelamat segala bangsa. Maria tetap akan perawan, dalam cara yang tak pernah ada sebelumnya.2”
Terlalu banyak yang Hanna dengar dalam satu waktu. Terlalu agung isi perkataan itu. Terlalu tak terjangkau. Itu membuat Hanna hanya sanggup berair mata. Dia jatuh terduduk dan membatin nama Tuhan tanpa berhenti, sampai cahaya itu lenyap tak berbekas.
Hanna masih dalam keheningan yang tidak pernah dia alami seumur hidup. Pengalaman yang teramat asing dan mencengangkan. Membuatnya merasakan kelengangan yang bukan main. Kelengangan yang pecah ketika pintu menderu.
“Hanna! Hanna! Aku pulang! Buka pintu!”