Semua kakakku dan kerabat sudah berkumpul di samping tubuh Emak ketika aku sampai di rumah Mbok[1] Mar, tempat Emak menghabiskan hari-hari terakhirnya.
Semua mata memandangku, kakiku memasuki teras rumah, membuat aku gugup dan sedikit salah tingkah. Sampai-sampai aku tidak sempat mencium tangan beberapa kerabat Emak yang kulalui di teras.
Aku memang datang paling belakangan. Maklum, rumahku di Depok sehingga harus menyeberangi laut lewat Tangerang untuk sampai ke kampung halamanku, Pulau Tidung. Embok Mul tadi malam menelponku, mengabarkan kondisi Emak yang sudah kritis.
“Kamu harus pulang secepatnya, semua keluarga sudah berkumpul sejak sore,” suara Mbok Mul di ujung telepon.
Mbok Mul menyambutku di teras. Selepas kucium tangannya, ia memelukku erat sekali, sampai-sampai tubuhnya yang kecil itu semakin mengkerut. “Emak tinggal menunggu kamu saja,” ucapnya pelan, hampir samar terdengar.
Dilepasnya pelukan di tubuhku. Aku lihat airmatanya merembes ke pipi, dan ia sama sekali tidak menyekanya. Kelopak matanya terlihat bengkak. Entah sudah berapa kali ia menangis.
Kakak-kakak dan saudara yang lain hanya bisa melihat kami dengan perasaan yang sama. Meski ada rasa haru yang merambat di dadaku, aku masih mampu menahan air mataku agar tidak jatuh.
Mbok Mul langsung mengantarku ke ruang tamu, tempat Emak dibaringkan. Dari pintu ruang tamu, aku melihat tubuh Emak terbujur dikelilingi anak-anak, cucu dan kerabatnya. Suara bacaan surat Yaa Siin terdengar berkejar-kejaran, seperti bunyi dengungan lebah memenuhi ruangan.