Alandra

Ainaya Lanahdiana
Chapter #2

2. Terkejut

"Kok pintunya ditutup, ya?" Alana bermonolog dari kejauhan. Bertanya-tanya, sebab bukankah sekarang ini pendaftaran grup tari Daksaya? Apa diundur? Jangan-jangan malah bukan di ruang kesenian.

Alana melangkah perlahan. Mendekati ruangan yang bahkan tak ada orang di sekitarnya. Sepertinya dihari pertama ini, belum terlalu banyak yang berminat.

"Belum dibuka apa gimana sih, ini?" Lanjutnya memastikan. Alana melirik jam di tangannya. Sudah menunjukkan jam istirahat. Pikirannya liar, membayangkan hal yang tidak-tidak di dalam sana.

"Hah!" Alana memekik tertahan. Keduanya ia gunakan untuk menutup mulutnya yang tak sengaja mengeluarkan suara barusan. Netranya dengan jelas menangkap dua kakak kelasnya tengah berpelukan. Alana memperhatikan lebih dalam. Dari gerak-geriknya, sih memperlihatkan bahwa si cewek sedang menangis. Bahunya terlihat naik turun tak beraturan. Alana menggelengkan kepalanya. Ia membalikkan badan. Berniat untuk segera pergi dari sini. 

"Aaa!" Teriak Alana lantang. Sebuah hewan berkaki delapan tiba-tiba mendekat dengan cepat. Alana melangkah mundur dengan ketakutan. Napasnya memburu. Badannya bergetar tak karuan diiringi rintihan-rintihan kecil yang terus saja keluar dari bibir tipisnya. Ia yakin bibirnya sudah mulai pucat sekarang.

Pintu terbuka, menampilkan laki-laki tegap dengan dua lembar kertas di tangannya yang kokoh.

Alana tak menyadari kehadiran laki-laki itu. Matanya masih menatap awas hewan tersebut. Tubuhnya telanjur kaku. Hewan itu sampai di ujung sepatunya.

"HUAA! LABA-LABA!" Jeritnya seraya mencengkeram apapun yang ada di dekatnya. 

Andra terkejut bukan main. Coba bayangkan, sehabis menenangkan cewek yang menangis, tiba-tiba dipeluk oleh cewek lain. 

"Ehem," Andra berdeham pelan. Alana terperanjat. Indra penglihatannya membulat, tak menyangka bahwa ia memeluk Andra barusan. Eh, lebih tepatnya mencengkeram.

 Alana melepaskan tangannya seketika, "m-maaf kak," ujarnya pelan dengan kepala yang tertunduk. Merasa bersalah dengan apa yang ia lakukan barusan. Apalagi ia berada di area sekolah. Ya, walaupun murni merupakan unsur ketidaksengajaan.

"Nih, formulir," tuturnya to the point sembari memberikan lembaran berisi formulir untuk calon anggota Daksaya. Kelompok tari tradisional di bawah naungan yayasan Nusantara yang sudah berdiri tiga tahun lamanya. 

"M-makasih kak," Alana melangkah pergi seraya tersenyum tipis. Ingin cepat-cepat menuju ke kelasnya.

"Eh bentar," tahan Andra. 

Alana membalikkan badannya ragu.

"Nih," Andra mengulurkan tangan kanannya. 

Alana mengernyit. Tidak ada apa-apa di tangan kakak kelasnya itu. Hanya telapak tangan yang tergenggam rapi.

Andra membuka telapak tangannya perlahan. Kedua mata Alana terbelalak, "HUAAA! LABA-LABA!" 

***

"Rea, gimana, kalau aku enggak usah daftar ya?" Tanya Alana masih setia pada boneka unicornnya. Benda pipih miliknya berdering. Nomor tak dikenal meneleponnya. Alana mengernyitkan dahi. Tak banyak yang punya nomor ponselnya. Daripada penasaran, ia pun mengangkatnya. 

"Lo aman kan di rumah? Apa perlu gue ke rumah lo?"

Alana terdiam. Dia kan, di rumahnya sendiri. Ya, aman lah. Rumahnya kan, tidak di tengah hutan. Tidak bagus-bagus amat, dan tentunya Alana tak sendirian di rumah. 

"Aluna, jangan diem aja. Lo bisa cerita apapun ke gue."

Hah? Aluna? Dahinya mengernyit heran.

"Maaf, siapa ya?" 

'Tut... Tut...'

Teleponnya sudah diputus. Alana masih saja memandangi nomor itu lekat-lekat. Mencoba mengorek informasi siapa tahu ia mengenal orang tersebut. 

Alana L : Ca, elo nyebar no gue k sp?

Caca💩 : gue g nyebar 

Alana menghela napasnya perlahan. Ia mengedikkan bahunya berusaha tak peduli.

Jemarinya meraba kertas formulir tersebut. Mencermati setiap tulisan yang ada. Sorot matanya terpaku pada tulisan di sudut kanan bawah formulir. Alisnya tertaut. 

"Nomernya Kak Andra sama Kak Renata sama, ya?" Lirihnya keheranan.

Tanpa berpikir panjang, Alana menyimpan nomor tersebut. Berjaga-jaga jikalau sewaktu-waktu ia membutuhkannya. Lumayan juga, kapan lagi bisa dapat nomor kakak kelas. Aduh, mikir apa Alana ini. Alana menggelengkan kepala. Menghilangkan isi otaknya yang sepertinya telah terkontaminasi.

'Kak Renata apa Kak Andra?'

Begitulah Alana memberi nama kontak yang baru saja disimpannya.

"ADEK! AYO MAKAN!" Teriak Ibunya dari bawah. Ah, ibunya itu. Kalau berteriak, satu kampung dengar semua. 

"Iya bu," balas Alana pelan. Ia yakin, ibunya tak akan mendengar jawabannya barusan.

Satu hal yang tidak Alana sadari. Nomor itu. Nomor yang baru saja ia simpan, adalah nomor yang sama dengan nomor yang meneleponnya tadi.

***

Lihat selengkapnya