"Kemarin kenapa nuduh gue?" Tanya Caca menyelidik. Matanya ia sipitkan menatap Alana yang masih tenang tak merespon.
"Aku enggak nuduh Ca, aku tanya," elak Alana.
Sungguh, ia tak bermaksud menuduh Caca semalam. Alana hanya mencari informasi barangkali Caca sedang iseng padanya. Tak dapat dipungkiri, Alana sedikit terkejut kemarin. Apalagi jelas-jelas suara yang keluar tak seperti yang biasa ia dengar. Baru kali ini ia mendapat telepon dari laki-laki, selain ayah dan saudara tentunya.
"PAK IDRIS PAK IDRIS!!!" Teriakan Anton mengggelegar ke seluruh penjuru kelas. Mereka yang sedang ngobrol, makan, tiduran, hingga bergosip ria di depan kelas melesat secepat kilat ke bangkunya masing-masing.
"Lo, udah ngerjain PR belum?" bisik Caca khawatir.
Alana menenggak salivanya. Matanya menatap resah pada samping kanan kirinya yang sudah mengeluarkan buku. Ia menggigit bibir bawahnya yang kini mengering. Rasa dingin menusuk di tangan dan kakinya. Matanya meneropong pada bukunya yang ia tinggalkan begitu saja di atas kasur tadi malam. Aduh! Ingin bolos saja rasanya!
Tak lama, suara bass menggema, "Alana Lunette, silahkan kerjakan nomor satu!"
***
"Tumben buku lo ketinggalan?" Tanya Caca seraya memakan bekalnya. Hari ini Alana mengajak Caca untuk membawa bekal. Katanya sih, supaya lebih hemat. Padahal, ujung-ujungnya pulang sekolah mampir juga ke minimarket.
"Errr, aku lupa," alibi Alana. Tak mungkin kan kalau ia berkata bahwa pikirannya sedang menjelajah ke lain tempat? Memikirkan rentetan peristiwa yang terjadi sehari kemarin.
"Masa, sih? Alana yang gue kenal enggak pelupa," selidik Caca.
"Aku kan manusia biasa Ca, bukan pengidap hyperthymesia apalagi robot," Alana masih saja mengelak.
Caca menutup bekalnya yang sudah habis tak bersisa. Dilanjutkan meminum air putih yang ia bawa juga dari rumah. Tangannya menjulur ke dalam tas. Mencari sesuatu yang mungkin bisa membantu.
"Milih nulis, apa cerita?" Tanya Caca sembari meletakkan sebuah buku dan pulpen di meja.
"Apa sih Ca?"
"Alana, plis deh. Gue kenal elo dari masih culun," ujarnya.
Alana meneguk minumannya. Tangannya menolak buku yang Caca taruh di atas meja tadi. Kali ini mungkin ia akan bercerita, selagi kelas masih belum seramai pasar tumpah.
"Kemarin ada yang nelpon. Dari suaranya sih, bukan cewek. Habis itu dia manggil aku Aluna. Beda sehuruf sih, tapi kan jadi bukan namaku. Mana aku nggak kenal siapa yang telpon," akunya. Alana menyerah. Caca memang tak bisa dibohongi.
Caca bergumam. Jarinya mengetuk-ngetuk meja kemudian mengernyitkan alisnya.
"Siniin hape lo," pinta Caca.
Alana mengeluarkan benda pipih dari sakunya. Memberikan kepada Caca yang sudah sangat kepo. Ketika ponsel itu sudah berada di tangan Caca, Alana bertanya, "buat apaan sih Ca?"
Caca tak menjawab. Ia sibuk membuka-buka ponsel Alana. Tak lama, ia terperangah. Mulutnya ternganga. Caca memekik, "edan!"
Alana mendelik. Ia mencondongkan badannya. Penasaran juga dengan hal yang membuat sahabatnya itu mengumpat.
"Edan! Sumpah demi apapun! Aaaa!" Koarnya lagi.
"Yang nelpon elo kemarin itu Kak Andra! Sumpah ih elo tuh!"
"Hah?!" Alana memekik tak percaya.
"Nih! Liat! Sepuluh menit yang lalu, itu orang ngefollow Instagram lo dong!" Ucapnya menggebu-gebu pada Alana yang masih menganga tak percaya.
"Siniin!" Buru-buru Alana merebut ponselnya.
andraa.d mulai mengikuti Anda
andraa.d menyukai foto Anda
***
"Wah! Wah! Atlet renang kita udah balik bro!" Seru Raka melihat Ardi menghampiri mereka di kantin. Satu minggu yang lalu, Ardi memang pergi ke Semarang untuk melaksanakan lomba renang bersama beberapa siswa lain.
"Ya iyalah, atlet renang gitu loh! Emangnya elo, atlet tidur!" Ledek Rangga.