Alandra

Ainaya Lanahdiana
Chapter #4

4. Calon

Suara gedebukan dan decitan tapak sepatu terdengar keras. Andra bisa menebak kalau itu suara sepatu mereka. Mengganggu saja, dasar!

"NDRA!!!" Teriak keduanya bersamaan.

"Lo k-ok ba-ru bilang si-h kalo mau main?!" Ucap Raka dengan napasnya yang tak beraturan. Andra tak bergeming. Seolah tidak menyadari ada Raka dan Rangga di hadapannya. Hingga tiba-tiba Rangga menyambar minuman Andra.

"Sialan!" Umpat Andra spontan.

"Ahh, seger!" Ucap Rangga tak berdosa.

Raka melirik gelas tersebut, kemudian beralih menatap Rangga seolah berkata, 'eh, gue juga mau!'

Andra yang menyadari gerak-gerik kedua sahabatnya itu langsung mengambil gelasnya.

"Yah!" Sesal Raka tak buru-buru menyambar gelas tersebut.

"Beli sendiri!" Seru Andra. "Nggak usah gangguin orang makan!" Peringat Andra kemudian memberikan selembar uang kepada Raka.

"Beuhh! Rejeki nggak akan kemana mas bro!" Pamernya angkuh pada Rangga yang kini mencebik iri.

"Gue satu Rak!" Teriak Rangga tatkala Raka sudah mulai pergi guna memesan minuman.

"Males ah. Gue pengen beli minuman yang berkelas!" Ujarnya kemudian melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.

"Ndra," panggil Rangga pelan.

"Hmm."

"Lo, suka sama Alana?" Tembak Rangga langsung.

Andra mengehentikan kunyahannya.

"Kenapa lo tanya gitu?"

"Ya..."

"Sejak kapan lo pengen tau hidup orang?"

'Skakmat!'

Rangga tertohok. Ia menelan salivanya. Rangga memang tidak pernah mencampuri orang lain. Prinsipnya, tak perlu mencampuri urusan orang lain karena mereka mempunyai kehidupan sendiri.

Andra bangkit dari tempat duduknya. Ia melangkahkan kaki menuju kelas dengan raut muka yang datar.

"Eh, Andra udah cabut?" Tanya Raka dengan es teh di tangannya.

Rangga tak menjawab. Ia malah menaikkan alisnya. Bertanya-tanya tentang benda di tangan Raka.

"Es teh lima ribu?"

"Aslinya sih, dua ribu. Tapi yang bikin Dek Asri, jadinya segitu," ucap Raka bangga sembari memasukkan sedotan ke mulutnya. Rangga menepuk dahinya. Heran dengan kelakuan sahabatnya ini.

***

"Oke, jadi sesuai surat undangan, Daksaya dapet job buat tampil di Candi Borobudur. Durasi tampil lumayan lama, sekitar tiga perempat jam. Kita cuma punya waktu seminggu buat persiapan. Diminta kerja samanya ya," jelas Renata.

"Tariannya kita sendiri yang tentuin. Mungkin ada yang mau usul?" Sambung Andra.

"BAMBANGAN CAKIL!" Teriak seorang perempuan di pojok kelas.

"Eh genter! Seneng banget ya gue jadi cakil?!" Sewot Raka. Sebenarnya ia tak masalah jika saja bukan dirinya yang menjadi cakil. Namun, rata-rata anak kecil takut dengan topeng yang Raka gunakan. Kan kasihan juga.

"Oke, diter-"

"Ndra," ucap Raka kecewa dengan Andra yang dengan mudah menerima pendapat orang.

"Besok gue cariin topeng yang ganteng."

Raka mendecak. Topeng ganteng yang Andra maksud pasti beda dengan yang Raka bayangkan.

Rapat terus berjalan. Tak jarang dari mereka melontarkan candaan-candaan receh yang membuat seisi ruangan tertawa. Ada juga yang tiba-tiba maju mempraktikkan gerakan-gerakan tertentu. Hingga paling niat, mereka mempraktikkan tarian topeng ireng secara bersamaan. Dengan bantuan speaker di dalam ruangan.

Ardi berjalan mantap menuju speaker. Memencet tombol off yang membuat mereka bersorak.

"Udah sore, mau sampe jam berapa?" Tanya Ardi.

Banyak dari mereka yang segera memandang jam dinding dan jam tangan seraya mengumpat, 'edan!'

Ardi menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian kembali ke tempat duduknya.

Lihat selengkapnya