"Mbak Arin," panggilnya pada seseorang yang tengah berkutat dengan laptopnya. Berbagai macam buku dari yang tipis hingga tebal tergeletak berantakan. Dilihat dari raut mukanya, ia tampak frustrasi.
Perempuan itu menoleh cepat ke arah pintu.
"Kenapa Al? Sini masuk," suruh Arin ketika melihat adiknya berdiri di depan pintu kamarnya.
Alana mendudukkan diri di pinggir kasur. Melihat-lihat judul buku yang sangat asing baginya.
"Kuliah serumit itu ya, mbak?"
Arin tersenyum. "Nikmatin dulu masa SMA mu. Masih setaun lebih kan?"
Alana mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan. Iya juga ya. Dulu saat ia SD, Alana sempat berpikir bahwa masa SMP itu menyeramkan. Apalagi mengenai pelajaran. Ia sempat membaca sekilas buku pelajaran Arin dulu. Hasilnya, hanya kernyitan di dahi dan bayangan betapa susahnya pelajaran SMP. Akan tetapi, setelah ia mengalaminya sendiri, ternyata tak semenyeramkan yang ia bayangkan. Hal itu terjadi juga saat ia akan masuk SMA.
"Kenapa ke kamar? Jarang loh kamu main ke kamarku," tanyanya masih dengan pikiran yang tertuju pada layar di depannya.
"Mbak Arin nggak tau aja kalau aku sering tidur di sini. Apalagi kalau Mbak Arin nggak pulang seminggu," cibir Alana.
"Oh?! Adek sering tidur di kamarnya mbak? Pantesan."
"Pantesan apa?"
"Bau iler!"
"Mbak Arin!" Protes Alana seraya melemparkan beberapa bantal ke arah kakaknya, membuat kamar Arin menjadi lebih berantakan. Mereka berdua tertawa agak lama. Sudah lama rasanya tak bertengkar kecil seperti ini. Jadwal kuliah Arin yang semakin padat membuatnya mau tak mau harus nge-kos karena tidak memungkinkan untuk harus bolak-balik Magelang-Jogja setiap hari. Memang sih, jaraknya tak terlalu jauh. Tapi kan, lama-lama tekor juga.
"Mbak, nanti sore ke candi yuk!" Ajak Alana.
Jemari Arin berhenti mengetik. Menimang-nimang keputusan yang akan dia ambil. Sepele sih, hanya main. Tapi, kan jadi tidak berlaku untuknya yang kini tengah menjadi pejuang semester akhir.
"Cuma boleh sampe jam lima."
Arin mengajukan syarat. Alana mencebik sekilas. Padahal ia ingin menyaksikan sunset. Tapi, tak apalah. Yang penting ia bisa menghabiskan waktu berdua dengan kakaknya.
"Ya udah deh," pasrah Alana disusul gerakan menutup pintu.
"Eh mbak!"
Pintu kembali terbuka dengan tangan Alana yang masih berada di kenop pintu. Arin menoleh lagi.
"Ehm, nggak jadi."
***
"Dek Al!" Teriak Arin dari depan kamarnya. Pintu tertutup, namun sepertinya tak dikunci. Arin membuka pintu cepat. Ini sudah pukul tiga sore.
"Ck," Arin mendecak. "Masih suka mabar?" Tanyanya saat mengetahui adiknya belum bersiap dan malah memainkan ponselnya.
"Jarang main. Ini diajak Caca." Pandangan Alana masih tak teralihkan. Arin menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berkacak pinggang.
"Lima belas menit lagi. Mbak Arin mau ngerayu bapak biar dipinjemin sepeda," putus Arin sembari menutup pintu kamar Alana.
"Iya- ADUH!" Teriaknya heboh. Ia tertembak dan Caca malah menertawakannya. Caca nyebelin!
"Bodo amat ah!"
Alana melempar ponselnya sembarangan ke kasur. Ia beralih mengamati isi lemarinya secara seksama. Tak ada baju yang cocok.
Sebuah ide tiba-tiba terlintas. Ia melesat keluar.
***
"Eh jagung! Pede banget, itu baju siapa?!" Teriak Arin dari halaman rumah. Di sampingnya sudah ada sepeda onthel The Raleigh England Dames Seri AA 58130 kepunyaan ayahnya. Omong-omong, terkadang memang Arin memanggil Alana dengan sebutan jagung. Mengingat obsesinya terhadap unicorn kini semakin meningkat. Ya, unicorn. Corn, jagung.