Bagaimana sebuah pesan pendek bisa mengantar ingatan ke masa lalu? Hanya Alang, Arif, dan April yang mengerti. Satu jam yang lalu Arif mengirim pesan pendek. Ia bilang ingin ketemuan. Ada perihal yang harus mereka bicarakan serius. Penting, katanya.
Alang menengok jam di pergelangan tangan.
Pertunjukan musik akan dimulai lima jam mendatang.
Masih banyak waktu luang, tapi itu bukan berarti ia bisa menyia-nyiakan waktu percuma untuk bertemu dengan teman lama.
”Aku diminta menyampaikan pesan secara langsung. ’Kalau bisa temui Alang, Nak Arif‘, begitu permintaannya.“
Nak Arif? ”Siapa yang meneleponmu?“ tanya Alang.
”Hanya kirim SMS.“
”Apa isinya?“
”Aku tidak bisa bilang sekarang. Harus ketemu langsung,“ tuntut Arif. ”Ini amanat, Bos. Penting dan genting.“
”Forward-kan… Kirim ulang pesan itu ke nomorku,” pinta Alang.
”Jadwal pertunjukan sampean masih saja padat, Bos?“ Bukannya segera mengiyakan permintaan, Arif malah menanyakan perihal lain.
”Hari ini malam terakhir,“ jawab Alang. ”Ada apa?“
”Ada apanya akan aku jelaskan setelah kita bertemu.“
Alang kembali menghitung waktu. ”Aku hanya punya waktu lima belas menit.“ Ia sengaja memberi durasi waktu ketemuan yang begitu sempit. Setengahnya memaksa Arif supaya mau menyampaikan titipan pesan melalui SMS saja.
”Aduh,” keluh kawannya. ”Sampean sekarang di Kampung Melayu, sementara aku di Kembangan arah Cengkareng. Bagaimana aku bisa datang ke lokasi tepat waktu? Dan lagi... Ah, baiklah. Aku akan menghubungi April. Semoga ia tak keberatan mengantarku menemuimu. Lagipula, sudah lama sekali kalian tidak ketemuan, bukan?“
Sebenarnya Alang sudah mulai luluh dan hendak memberi kelonggaran waktu lebih panjang. Namun, saat nama April disebut, kedua kakinya mendadak goyah.
Hatinya bergetar. April; perempuan cantik yang telah dekat dengannya semenjak remaja, perempuan pertama yang membuatnya jatuh cinta.
”Sampean tunggu kami,“ kata Arif saat akhirnya Alang sudi meluangkan waktu dengan menyebut nama sebuah kafe. ”Seumpama telat datang karena macet, kami akan menunggu sampean sampai pertunjukan selesai. Kita mengobrol setelah itu. Semoga saja April sedang luang malam ini.”
Hati Alang semakin tak keruan. Koridor ber-AC seakan tak mampu menahan laju keringat yang mengalir di dahi dan membasahi punggung.
”Bist-du ok?“ Alang menoleh. Katja Heinennman si pemetik harpa menyapa dengan raut khawatir. Mia yang berdiri di sebelahnya mengerutkan kening. Ada apa, tanyanya tanpa suara. Matanya melirik ke arah telepon di telinga Alang.
”Sedikit kurang baik, tapi tidak apa-apa.”
Katja baru menyadari bahwa Alang sedang menerima telepon. ”Entschuldigung....“
”Bitte.” Alang mengangguk saat kawan perempuannya itu pamit masuk ruangan. Kepada Mia, ia memberi tanda bahwa akan menceritakan semuanya setelah acara selesai. Mia tak mengangguk. Raut mukanya terlihat begitu judes. Perempuan itu pasti mengerti ada sesuatu yang tidak beres sedang dihadapi Alang. Ia paling tidak suka jika Alang main rahasia-rahasiaan seperti itu.
”Aku akan mengirim SMS supaya April meneleponku. Duh, hidupku payah sekali. Tak ada pulsa, tak punya cukup uang untuk membelinya,” keluh Arif saat Alang kembali menanggapi telepon.