Palang setrip-setrip merah dan putih kereta api bergerak menutup di kedua sisi jalan. Tak lama kemudian, sebuah kereta api jurusan Jakarta melaju kencang. Kepala lokomotifnya mengeluarkan asap hitam pekat. Gesekan antara roda dan rel menimbulkan suara berisik
Jeglek – jeglek – jeglek – ngueeeeeeng....
Rentengan gerbong kereta api warna oranye menghilang dari pandangan. Palang kereta api terangkat naik, membuka jalan. Kendaraan-kendaraan kembali berjalan. Arus lalu lintas yang sebelumnya padat, perlahan terurai dan lancar.
”Simbahku semakin kedanan wayang, Lang,“ kata Arif.
Alang menengok ke kanan dan kiri. Aman, tidak ada kereta api yang hendak melintas. Kendaraan bermotor pun sudah tak seramai tadi. Alang menyeberang rel, disusul Arif.
“Bukannya sudah dari dulu?” tanya Alang.
”Semakin, Lang,” tekan Arif. “Semakin itu artinya bertambah… bertambah tidak waras.”
Dua bocah bersahabat itu baru saja pulang sekolah. Mereka masih dalam seragam putih biru dan bercelana pendek saat berjalan kaki menuju rumah.
”Kedanan bagaimana lagi?“ tanya Alang.
”Kau lihat sendiri saja nanti.“
Matahari Kota Madiun bersinar begitu terik. Seragam kedua bocah tersebut telah basah oleh keringat. Dahi mereka yang tertutup topi turut pula penuh peluh. Ibu bilang aromanya kadang mirip tempe bosok. Tengik.
Dua bocah itu membelok ke sebuah gang. Rumah Arif yang sederhana (sungkan bila harus menyebut sebagai gubuk yang buruk) sepi. Ibu Arif bisa jadi masih di tegalan, meramban daun singkong. Atau, sedang menunggui jemuran gaplek (ketela kering) sembari kipasan koran bekas. Sementara bapak Arif sedang tak di rumah karena nguli bangunan di Surabaya.
Arif dan Alang terus menuju halaman belakang, menerobos pagar tanaman. Berjalan menyusur pinggir tegalan milik salah seorang tetangga. Tanaman-tanaman jagung tumbuh menjulang tinggi. Beberapa bakal bonggol mulai muncul di bagian ketiak daun dengan surai rambut merahnya.
Setelah melewati tegalan, dua bocah berkulit hitam karena terlalu sering terpapar matahari membelok ke sebuah gubuk reyot yang dihuni seorang yang sudah teramat tua, simbahnya Arif. Ia dulu bernama Wagiman, namun sekarang telah berganti nama menjadi Bisma.
”Wagiman sudah mati,“ kata laki-laki usia tujuh puluhan tahun tersebut. ”Panggil aku Bisma.“