"Jangan pernah lagi main ke rumah simbah edan!“ Bapak menegur begitu Alang menampakkan diri. ”Orang tidak waras malah dikunjungi dan didengarkan perkataannya. Kalau sudah demikian, lalu siapa yang sebenarnya gila kecuali si penanggap itu sendiri!“
Alang pulang terlambat. Ia lupa waktu karena mendengarkan cerita Simbah yang menarik mengenai dua tokoh wayang yang seringkali digunakan untuk menggambarkan dunia perempuan. Di mata Alang, Simbah Bisma tak sungguh-sungguh edan dalam artian hilang akal. Laki-laki tua itu hanya mencari pelarian untuk mengisi kekosongan hidupnya. Tak dipedulikan anggota keluarga, dianggap gila karena terlalu menggemari kesenian, lalu apalagi yang bisa dilakukan simbah kecuali merasa bahagia saat didatangi dua bocah polos untuk mendengarkan ceritanya yang menarik?
Alang tiba di rumah saat adzan Maghrib dikumandangkan. Bapak yang duduk di lincak ruang tamu sembari udut (merokok) memberi tatapan menyelidik saat anaknya mengucap salam seadanya. “Salamlekum!”
“Mengucap salam sambil terus berjalan seperti cindil!” tegur Bapak. “Dari mana kamu?”
Alang urung melanjutkan langkah menuju sumur yang terletak di halaman samping rumah. ”Dari rumahnya… Arif.”
“Dari rumahnya Arif atau simbahnya Arif?” Bapak melanjutkan perkataannya tanpa menunggu jawaban Alang. “Sudah berapa kali aku bilang, jangan bermain di tempat Simbah Bisma. Cerita-cerita itu tidak ada gunanya selain membuatmu terlena. Lupa waktu.”
Ibu melongok dari dapur, memberi tanda supaya anaknya segera mandi. Adzan Maghrib baru saja selesai berkumandang, sementara Alang belum juga membersihkan diri dan berganti pakaian.
”Jangan bicara terlalu keras mengenai Simbah Bisma. Bagaimanapun juga ia pernah menyelamatkan nyawa—”
“Iyaa..,” potong Bapak, kali ini dengan nada suara lebih rendah. ”Memang benar Simbah Bisma pernah menolong bapakmu sehingga lolos dari tangkapan orang tak dikenal. Kau sudah berkali-kali menceritakan hal ini padaku.”
Waktu itu banyak sekali orang ditangkap. Tak peduli apakah ia terlibat dalam gerakan penggulingan negara atau tidak. Sewaktu Simbah Bisma ditangkap, ia sempat melihat Tukimin—bapak dari ibu Alang—baru kembali dari ladang. Simbah Bisma mengambil risiko dibedil di tempat ketika ia mencoba meloloskan diri hanya untuk memberi tanda supaya Tukimin berbelok dan sembunyi. Tukimin membelok, melompat masuk ke dalam selokan besar, dan bersembunyi di lorongnya yang bau pesing.
Tak lama kemudian terdengar suara bedil. Simbah Bisma jatuh berguling karena sebelah kakinya ditembak salah seorang petugas yang kemudian menangkapnya. Setelah itu tak ada kabar, sedangkan Tukimin yang bersembunyi, berhasil selamat. Sebagai orang yang mengerti balas budi, Tukimin selalu mengulang cerita tersebut dan meminta setiap anggota keluarganya, hingga anak-cucu, untuk menghormati Simbah Bisma beserta seluruh keluarganya.
Bapak memahami ‘kewajiban’ Ibu yang harus menghormati laki-laki yang pernah menyelamatkan nyawa bapaknya itu. Bapak juga tak mempermasalahkan status eks-tapol dari laki-laki tua tersebut. Namun, semua itu bukan berarti ia bisa menerima kegilaan si Bisma gadungan. Terlebih lagi, Simbah ditangkap karena kegemarannya menonton pertunjukan seni. Itu artinya kesenian adalah nol besar, bukan? Nah, bila Alang terus berkunjung ke rumah Simbah dan ikut menyukai kesenian, saat dewasa bocah itu bisa ikut tersesat tak tentu rimba di dunia yang tak jelas. Bukan tak mungkin bisa juga dipenjara seperti Simbah Bisma.