Alang

Republika Penerbit
Chapter #5

Keputusasaan Arif

Alang selesai sembahyang ketika Ibu masuk tergesa. Rambut di dahi yang masih setengah basah diseka begitu saja. Tersisa sedikit waktu, bila tidak terburu-buru bisa kehabisan waktu sembahyang.

Pernah suatu kali Alang menggerundel saat Ibu hampir terlambat shalat karena meladeni Bapak. ”Ibu menyayangi keduanya, Lang. Bapakmu dan juga Gusti Allah. Hidup itu harus seimbang, kok; ya ke atas, ya ke samping.“

Bocah itu tak mengerti perkataan ibunya. Setelahnya ia diam saja setiap kali Ibu tergesa masuk kamarnya untuk shalat. Rumah mereka kecil, tidak memiliki ruangan khusus untuk sembahyang. Satu-satunya ruangan yang layak hanya kamar Alang, karena kamar orangtuanya telah diisi dipan kayu berukuran besar pemberian orang yang menjadikan ruangan itu begitu sempit.

”Tidak makan terlebih dulu kamu, Lang?“ tanya Ibu setelah shalat.

Bocah itu menggeleng. Perutnya masih kenyang oleh ketela rebus dan sambal terasi di tempat Simbah Bisma. Selang beberapa saat, Alang melongok keluar kamar dengan hati-hati. Televisi baru saja dinyalakan. Bapak dan Ibu sedang menonton sambil makan. Sesekali mereka bersahut-sahutan entah membahas apa.

Alang kembali masuk dan mengeluarkan sebuah recorder putih gading dari dalam tas. Bentuknya seperti seruling, hanya saja seruling terbuat dari bambu dan ditiup menyamping, sedangkan recorder ditiup pada bagian pangkalnya dan menyorong ke arah depan. Pada bagian alat musik tiup tersebut terdapat lubang yang saat ditiup sebagiannya dibuka-tutup untuk menghasilkan nada berbeda-beda.

Televisi masih bersuara riuh-rendah dari ruang tamu.

Mulut Alang menutup ujung recorder. Ujung kelingking jari kanannya terangkat, lalu ditiupnya perlahan alat tersebut. Suara yang keluar tak jernih, semacam desis yang tidak enak di telinga.

Bila jari-jari tidak tepat menutup lubang, maka suara yang dihasilkan hanya desis tidak enak didengar. Sempurna adalah ketika suara yang dihasilkan terdengar bersih dan jernih, tanpa desisan.

Alang membalik buku pelajaran kesenian, tepat pada halaman berisi not angka lagu ”Satu Nusa Satu Bangsa“. Akhir catur wulan atau sekitar tiga bulan lagi, dia dan teman-teman sekelas diminta maju bergantian di depan kelas untuk memainkan lagu tersebut menggunakan recorder.

Terdengar deheman berat. Alang berhenti berlatih dan mendongak. Bapak berdiri di depan pintu kamar. Matanya menatap tangan Alang.

”Ini...“ Alang teringat nasihat Bapak untuk menjauhi segala hal yang berhubungan dengan kesenian. ”Sedang belajar untuk tugas sekolah.“

Bapak diam sejenak sebelum pergi.

***

”Rif,“ Alang berbisik memanggil teman sebangkunya. Ujung sikunya menyenggol siku Arif. ”Sepulang sekolah kita cari duit tambahan. Kau mau tidak?“

”Buat apa?“

“Beli recorder baru,” jawab Alang.

Meski sudah dipinjami pak guru, recorder itu hanya boleh dibawa pulang sehari. Setelah itu harus dipinjamkan bergiliran pada teman sekelas lain yang tidak punya.

”Sepatumu juga kan sudah membuka bagian depannya,“ tambah Alang setelah melongok ke bagian bawah meja. ”Apa kau tak ingin membeli yang baru?“

Dua bocah itu diam sejenak. Ibu guru yang tadi sedang menjelaskan dengan menulis di papan, kini sedang berbalik menghadap murid-murid. “Kau saja yang bekerja, lalu duitmu dibagi dua, bagaimana?” bisik Arif ketika ibu guru sudah kembali membelakangi mereka.

Alang berdesis sambil menyikut kembali lengan kawan sebelahnya. Arif cengengesan menahan tawa.

”Kenapa? Kau kan tak harus membantu ibumu menunggu jemuran gaplek.“

Lihat selengkapnya