Alang

Republika Penerbit
Chapter #7

Recorder Baru

Becak yang dipancal Bapak meluncur halus menyusuri jalan kampung. Sesekali Ibu mengangguk membalas senyum ketika berpapasan dengan tetangga. Bapak juga menyahuti sapaan sesama tukang becak. Setelah mengantar Ibu pulang, Bapak akan menyusul mereka dan mangkal di dekat pasar mencari penumpang.

Becak membelok ke jalan menuju rumah. Jalannya sedikit berguncang ketika ban melaju di atas jalan yang tidak rata. ”Lihat, Bu,” panggil Bapak setengah berbisik.

Ibu menengok. Matanya bergerak-gerak mencari apa yang dimaksud Bapak.

”Seto, anaknya Jimin, yang cuma pengangguran itu,” tambah Bapak masih dengan suara lirih.

Ibu menoleh ke belakang. Rumah Lik Jimin sudah terlewat di belakang. Seto, anak Lik Jimin, sedang duduk malas di kursi di halaman depan rumah, tak jauh dari toko kelontong bapaknya. Mata Seto mengantuk.

Sesekali bujang lapuk itu menguap lebar. Sebatang rokok yang berada di impitan jari diisap khidmat dan asapnya diembuskan perlahan dengan nikmat.

”Dengan dalih berprofesi seniman, dia memanjangkan rambut dan badannya bau selokan mampet. Padahal kerjaannya cuma gonjrang-ganjreng gitar tidak jelas.” Bapak meludah. ”Dasar seniman kere, kerjanya tak jelas, pendapatannya tak ada.”

Ibu tidak sungguh mengerti dengan yang namanya seniman. Perempuan paruh baya itu hanya mengerti bahwa Seto memang luntang-lantung tidak jelas. Pekerjaannya mulai dari pagi sampai malam hari hanya bermain gitar. Menyanyikan lagunya siapa, entah, tidak jelas.

”Seniman itu bukan pekerjaan menjanjikan. Contohnya saja sudah banyak di lingkungan kita. Simbah Bisma dan Set—“

”Sudahlah, Pak,“ sahut Ibu cepat. ”Anaknya Jimin sudah tidak lagi kelihatan, kok kejelekannya masih saja terus dibicarakan.“

Bapak menginjak rem mendadak. Ibu berseru kaget. Tangannya menepuk-nepuk dada untuk menenangkan jantungnya yang berdetak cepat. Saat perempuan itu menoleh, suaminya sedang tersenyum lebar.

”Ini kebiasaan buruknya Bapak! Sukanya bercanda tidak tahu adat. Mengagetkan! Bagaimana jika aku terjatuh atau bagaimana...“ omel Ibu. Becak kembali dilajukan dengan kecepatan sedang.

”Aku kan hanya mengingatkan Bapak, bahwa membicarakan keburukan orang lain padahal sosoknya sudah tak terlihat itu tidak baik.“ Ibu menggeleng cepat- cepat. ”Tidak, tidak. Itu bukan berarti Bapak boleh membicarakan saat sosoknya masih terlihat. Maksudku... maksudku….”

Bapak terus membiarkan Ibu mengomel sepuas hatinya. Perempuan itu bila sedang merepet sebaiknya didiamkan saja. Karena, baik ditanggapi atau didiamkan saja, suami akan tetap salah. Ditanggapi, dianggap melawan perkataannya. Didiamkan saja akan dianggap tidak peduli. Jadi, lebih baik didiamkan saja. Toh, kalau capai juga akan berhenti sendiri–begitu nasihat para tukang becak saat berkumpul di warung kopi.

Becak berhenti di halaman depan rumah. Ibu akhirnya berhenti berkata-kata dan dengan sigap menurunkan tas belanjaan dan memasukkan ke rumah bersama suaminya.

Setelah semuanya terkumpul di dapur, Ibu membongkar dan menata sisa sayur supaya terkena udara dan tak cepat membusuk.

”Aku pergi dulu, narik.“ Bapak pamit setelah semuanya beres.

”Ya, Pak,“ kata Ibu. Lalu, ia memanggilnya sejenak.

Bapak yang sudah kadung sampai halaman depan rumah berhenti.

Lihat selengkapnya