Tak pernah terbesit di pikiran Albert bahwa dirinya akan terlahir sebagai anak seorang tentara Indonesia. Albert yang sewaktu itu masih kecil hanya tahu bahwa hidupnya selalu dikekang oleh bapaknya. Harus selalu ini, harus selalu itu, harus begini, harus begitu. Albert bahkan tak punya waktu untuk memikirkan cita-cita dan masa depannya karena terlalu merasa ditekan oleh bapaknya.
Albert lahir pada tahun 1970 di Pemalang dengan nama lengkap Albert Effendi. Nama yang kelewat keren untuk anak seusianya waktu itu. Bapaknya yang bernama Sukirno Effendi itu memberikan nama dengan tidak cuma-cuma. Seorang tentara dituntut mengelilingi Indonesia demi menjaga keamanan Indonesia. Waktu itu bapaknya yang meninggalkan ibunya untuk bertugas selalu memikirkan nama yang bagus dan pas untuk anak yang sedang ada di dalam kandungan ibunya. Dan saat itu lahirnya Albert dengan namanya yang sangat bagus.
Nama Albert terbesit di benak ayahnya saat bapaknya ditugaskan ke daerah Indonesia bagian timur. Di sana bapaknya melihat berbagai orang asing yang sedang mampir ke Indonesia, dan bapaknya melihat nametag seorang lelaki seumurannya yang tergantung di saku bajunya. Di situ tertera "George Albert".
Sepulang dari tugasnya di Indonesia bagian timur bapaknya langsung fokus untuk mengurus sang istri yang tengah hamil tua meski tugasnya sebagai tentara masih tetap terhitung sibuk. Beberapa minggu setelah hari penantian akhirnya Albert lahir tanpa cacat. Albert tampak begitu tampan sejak ia masih bayi.
"Dia adalah anakku, Ambar! Dia anakku!" Ucap bapaknya sambil menggendong lembut Albert dengan bangga.
"Dia juga anakku, Pak! Aku yang melahirkannya. Jangan serakah begitu, sakit hati aku mendengarnya," tukas ibunya sambil sedikit bercanda.
Si bapak tertawa. "Iya iya, dia adalah anak kita!"
Digendongnya Albert dengan penuh kasih sayang. Tawa ceria yang sudah biasa tampak setiap harinya di rumah kecil itu kini berubah menjadi tawa ceria yang lebih bahagia. Tangis bayi yang biasanya dibenci orang-orang sekarang malah disenangi Sukirno dan Ambar. Terbangun di tengah malam sudah sering dilalui oleh Ambar karena tangisan bayi kecilnya yang sedang sangat membutuhkannya. Tanpa membangunkan suaminya, Ambar mengurus bayinya dengan baik dan tenang supaya tidak mengganggu tidur nyenyak sang suami. Tak apa, kata Ambar. Ia hanya ingin menikmati masa-masa seperti ini. Waktu di mana ia akan merindukan masa-masa mengurus bayi kecilnya yang menggemaskan. Karena kebanyakan ibu pasti akan merindukan masa-masa seperti itu dan malah menyesal mengapa dulu mereka tak mengurus anaknya sebaik mungkin.
Seiring berjalannya waktu, Albert tumbuh dengan baik hingga umurnya mencapai 10 tahun. Albert makan dengan cukup, belajar dengan sangat baik, dan bermain dengan waktu yang ditentukan bapaknya. Sebenarnya ia sangat ingin bermain dengan waktu yang lama. Albert ingin bermain dari pagi sampai petang, namun bapaknya selalu memanggilnya dengan suara lantang setiap jam sudah menunjukkan pukul 5 sore hingga Albert berlari sangat kencang bahkan tersandung-sandung untuk menuju ke rumahnya secepat mungkin.
Waktu itu masih banyak peristiwa-peristiwa yang terjadi di tahun 1980. Mau itu kejadian yang sering terlihat di televisi, radio, maupun di daerahnya. Albert yang masih berusia 10 tahun hanya bisa berdiam diri di rumah sambil mengintip dari celah jendela kamar super mungilnya. Teriakan-teriakan orang dewasa yang masing-masing tangannya memegang senjata berbahaya membuat Albert ketakutan setengah mati. Saat ia menangis melihat kerusuhan itu, bapaknya muncul dari balik pintu kamarnya. Dengan wajah tegas dan sikap yang selalu ditampilkan oleh tentara, bapaknya mendekati Albert yang menangis dan langsung berkata dengan cukup mengagetkan.