Semua makanan telah siap disantap. Albert, bapak, ibu, Heru, dan Firman sudah duduk di kursi sembari menutup mata sambil berdoa. Kedua tangan mereka disatukan lalu memanjatkan doa di dalam hati masing-masing.
Setelah mengaminkan doa, mereka menunggu bapak mengambil centong nasi duluan. Tradisi seperti ini diterapkan sedari dulu. Dari zaman Belanda masih berkeliaran di mana-mana tradisi tersebut sudah ada. Kepala keluarga akan mengambil makanan terlebih dahulu. Dan ketika kepala keluarga belum kunjung datang ke meja makan, tak boleh ada satu pun orang yang makan duluan kecuali kepala keluarga sudah mengambilnya duluan.
Itulah tradisi di Indonesia yang masih bertahan sampai saat ini, tahun 1980. Tradisi-tradisi Belanda yang melekat dan masih diterapkan juga tetap berlangsung. Seperti masih diproduksinya guling. Guling adalah satu-satunya benda yang ada di Indonesia tapi tidak ada di negara lain. Menurut orang Indonesia, guling merupakan pasangan dari bantal. Jika begitu, mengapa di luar negeri tidak ada guling? Ternyata setelah dicari tahu, guling adalah benda yang tercipta di Indonesia dan hanya dipakai oleh orang-orang Indonesia.
Dahulu kala saat orang Belanda dan orang Eropa lainnya datang ke Indonesia, mereka kesepian tidur sendirian karena mereka tidak membawa istri atau pasangan mereka. Tradisi orang Eropa adalah memeluk orang yang mereka sayang saat tidur. Saat mereka merasa tak ada yang dapat dipeluk, akhirnya terciptalah benda panjang berisi kapuk yang dinamakan guling.
“Bagaimana latihan hari ini, Pak?” Tanya ibu seraya melirik bapak.
“Yaaa begitulah, Bu. Melelahkan seperti biasa,” sahut bapak yang kemudian memasukan nasi bersama lauk kembali ke mulutnya.
Albert makan dengan lahapnya. Tutut-tutut itu benar-benar gemuk dagingnya! Walaupun ibu sulit mengeluarkan dagingnya dari cangkangnya dan walaupun memerlukan waktu yang cukup lama, ibu tak menyesal karena tutut-tutut itu dapat mengenyangkan keluarganya.
“Tututnya enak. Apa kau membelinya dari bapak-bapak tua yang suka lewat di sore hari?”
Ibu menggeleng, “Bukan. Albert yang mencarinya di sawah.”
Bapak menoleh ke arah Albert yang sibuk memakan tutut-tutut itu.
“Wah kau sekarang ahli mencari tutut, ya?”
Albert tersipu malu. “Tidak, Pak. Saya hanya sedang beruntung saja hari ini.”
“Tak apa, bagus itu,” kata Bapak sambil menyuap sejumput nasi terakhirnya. “Pandai-pandailah kau mencari makan agar kelak tak susah payah pusing memikirkan perut kosong.”
Albert mengangguk bangga dengan senyuman yang masih ia pertahankan sejak tadi. Ibunya pun ikut-ikutan bangga padanya, terlihat dari senyuman tipisnya.
“Heru, Firman, habis makan biasakan cuci tangan sampai bersih, ya? Jangan menyentuh apapun dulu sebelum cuci tangan, mengerti?” Kata ibu.
Keduanya mengangguk, “Mengerti, Bu.” Kemudian mereka berdua beranjak turun dari kursi yang lumayan tinggi untuk ukuran anak kecil seperti mereka dan berjalan beriringan ke tempat cuci piring untuk mencuci tangan.
Perjamuan malam itu sangat sederhana namun terasa nikmat. Dilakukan di rumah kecil yang hidup karena orang-orang damai di dalamnya. Rumah Sukirno memang kecil, namun dindingnya terbuat dari semen dan batu bata serta pasir-pasir yang menguatkan pondasi. Kala itu, rumah-rumah yang terbuat dari semen dan batu sudah termasuk rumah-rumah orang berada. Rumah orang-orang biasa sampai orang yang tidak mampu terbuat dari anyaman daun-daun keras ataupun anyaman bambu.
∆∆∆
“Saya sudah siap, Pak,” kata Albert yang berdiri di depan bapaknya dengan wajah pucat dan keringat yang mengucur. Sesekali ia menelan air liurnya karena tenggorokannya terasa sangat kering.
“Bapak tidak bertanya kau sudah siap atau belum.”
“Ba-baik, Pak. Saya cuma ingin memberitahu saja, siapa tahu butuh.”
Seperti akan menyerang sekutu Jepang bersenjata saja Albert ini, padahal dirinya hanya hendak membacakan puisi yang dibuat olehnya untuk lomba 17-an nanti.
“Baiklah. Kau boleh mulai.”