Albert baru saja selesai membantu ibunya cuci piring di dapur. Hari Minggu biasanya ia memang membantu ibunya berbenah rumah. Karena ia anak pertama, jadi yang wajib membantu ibunya adalah dirinya sendiri mengingat adik-adiknya masih terlalu kecil.
Pagi itu kediaman keluarga Effendi tengah menikmati hari libur dengan berkumpul di ruang tengah. Mereka bersama-sama menonton TV dan melihat berbagai berita di banyak saluran TV. Bapak dengan kopi hitamnya. Ibu dengan gorengannya. Heru dan Firman dengan buku gambar dan krayon mereka. Serta Albert dengan matanya yang terus memandang layar TV dengan serius.
Si ibu yang kerap melihat tingkah tak biasa anaknya itu kini menahan tawa sambil mengunyah gorengan tahu itu. Terus memerhatikan walau Albert tak menyadarinya, ibu hanya bisa geleng-geleng kepala sambil terkekeh pelan. Kemudian ibu hanya melanjutkan acara sarapannya.
Bapak yang sedari tadi fokus melihat berita di TV sambil minum kopi tak sadar bahwa anak di sampingnya itu juga sedang menatap layar TV dengan mata yang teramat fokus. Tiba-tiba bapak tertawa begitu saja sampai Albert akhirnya menyadari bahwa ada dua pasang mata yang memperhatikannya sejak beberapa menit yang lalu.
"Kau sedang melihat berita?" Tanya bapak sambil tersenyum.
Albert mengangguk heran. "Iya. Kenapa, Pak?"
"Tidak," bapak menggeleng kemudian menyeruput kopi hitamnya. "Wajahmu terlihat fokus sekali. Kau tak sadar dari tadi Bapak dan Ibu memperhatikanmu sambil menahan tawa? Wajahmu lucu sekali, seperti seorang wartawan yang sedang memantau berita-berita di TV."
Albert masih memandang layar yang ada di depan. "Aku hanya sedang mendengarkan apa yang sedang terjadi di lingkungan kita, Pak. Sejak Bu Siti memberitahu bahwa negeri kita sedang banyak masalah, aku langsung penasaran."
"Siapa itu Bu Siti?"
"Gurunya, Pak, wali kelasnya," sahut ibu membantu menjawab. "Memangnya kau mengerti apa yang dibicarakan orang-orang di TV itu?"
"Mengerti... sedikit-sedikit," kata Albert sedikit malu. Namun wajahnya tetap mempertahankan kesan seriusnya.
Bapak dan ibu lagi-lagi terkekeh melihat tingkah anak sulungnya itu.
"Jadi, Bu Siti Bu Siti itu bicara apa saja memang?" Tanya Bapak.
Albert menoleh. Ia berkata sambil berpikir keras, "Katanya saat ini banyak terjadi ke... ke... ke—"
"Keresahan?" Tanya ibu tak sabar.
"Bukan. Ke... ke—"
"Kerasukan?" Serobot bapaknya.
Seketika semua yang ada di ruang tengah itu tertawa termasuk Heru dan Firman yang tak tahu apa-apa. Anak kecil memang suka seperti itu, ikut tertawa jika ada yang tertawa, ikut menangis jika ada yang menangis.