Siang itu sepulang sekolah, Albert dan kedua kawan dekatnya bermain lagi di sungai. Mereka kali ini tidak hanya bertiga melainkan bersama kawan-kawan sekelas mereka—yang mana adalah lelaki semua. Anak perempuan tidak diajak karena mereka sepakat bahwa anak perempuan hanya akan membuat perkumpulan ini menjadi tidak asyik.
Albert membuat perahu kecil dari daun pohon kelapa. Udin membuat pistol mainan dari bambu yang ia ukir sedemikian rupa. Dodo membuat sesuatu yang disebut dengan ketapel. Dan yang lainnya membuat hal serupa lalu memainkannya di dalam sungai.
Sungai adalah surga dunianya anak laki-laki. Lihat saja anak-anak lelaki yang sedang saling mencipratkan air sambil tertawa itu, begitu terlihat bahagianya mereka. Sungai sudah seperti tempat wisata saja, menjadi pilihan pertama Albert ketika dirinya butuh kesenangan.
Semuanya masih berada di dalam air kecuali Albert dan kedua kawan dekatnya itu. Mereka memutuskan untuk menyudahi acara mandi sambil bermainnya karena tubuh mereka sudah terasa lelah.
“Kalian tau feminisme?”
“Hah?”
“Hah?”
Dodo dan Udin kebingungan mendengar satu kata yang sangat asing di telinga mereka. Pasalnya bagi anak umur 10 tahun kata feminisme takkan bisa dicerna dengan baik. Namun lihat apa yang sedang Albert lakukan. Ia malah terlihat seperti profesor kecil yang ingin membuat kawan-kawannya bingung.
“Feminisme itu kesetaraan gender.”
“Hah???”
“Hah???”
Lagi-lagi Dodo dan Udin kebingungan mendengarnya. Mereka saling pandang dan melempar tatapan aneh ke arah Albert.
“Kau sedang membicarakan apa, sih, Bert?” Tanya Dodo. “Tau dari mana kata-kata itu?”
“Kesetaraan gender?” Kata Udin. “Itu artinya apa?”
Albert menghela napas.
“Dasar bocah, taunya hanya main saja.”
“Kau juga bocah!” Ucap Dodo dan Udin bersamaan.
“Kesetaraan gender itu seperti halnya hakmu disamaratakan dengan hak orang lain. Misalnya kau, Do, biasanya kau selalu tidak kedapatan uang jajan yang sama besarnya dengan kakakmu, kau bisa meminta hak uang jajanmu untuk disamakan dengan kakakmu. Misalnya lagi kau, Din, biasanya yang selalu diberi baju lebaran baru kakak perempuanmu, kau bisa meminta hak baju lebaran baru pada ayahmu atau minta saja agar ayahmu tak membelikan siapapun baju lebaran agar adil.”
Dodo dan Udin mengangguk-angguk paham. Wajah keduanya kini sangat serius mendengarkan semua kalimat yang terlontar dari bibir jenius Albert.
“Kau pintar berbicara, ya, Bert,” ucap Udin tiba-tiba.
“Kau juga pintar kok, Din,” kata Albert. “Pintar bohong.”
“Pffttt... HAHAHAHA!”
Dodo menertawai Udin sekeras itu sampai-sampai semua kawannya yang sedang mandi di sungai menoleh pada Dodo. Albert menahan tawanya karena Udin menatapnya dengan tatapan mematikan.
Di tengah pembicaraan rumit itu tiba-tiba terdengar langkah kaki dari balik semak-semak dekat Albert, Dodo, dan Udin berada. Seketika mereka bertiga langsung berhenti bicara dan menatap semak-semak yang sedikit bergerak itu. Muka ketiganya sangat tegang. Sudah terlintas hantu mengerikan di pikiran Udin, dan sudah ada bayangan pembunuh di otak Albert. Ketiganya memasang kuda-kuda untuk berlari. Mata mereka fokus pada semak-semak bergerak itu. Otot anak-anak itu menegang seiring semak-semak itu semakin banyak bergerak.
Saat mereka hendak berlari karena merasa sesuatu di balik semak-semak itu akan keluar, tiba-tiba saja seseorang keluar dari balik semak-semak dan membuat mereka bertiga kaget.
“Tanti?!” Teriak mereka bertiga saat anak perempuan seumuran mereka muncul dengan wajah takutnya.
Tanti mendekat, berjalan pelan ke arah Albert dan kedua kawannya. Ia perjalan sangat pelan karena takut terpeleset akibat lumut-lumut yang menempel di bebatuan besar.
“Apa yang kau lakukan di sini, Tanti?” Tanya Albert heran.
“Aku... aku tersesat!”
Dodo dan Udin menatapnya tak percaya.
“Bagaimana bisa kau ada di sini, Tan?” Tanya Udin selidik. Matanya menyusuri gerak-gerik aneh Tanti.
“A-aku bilang aku tersesat!” Suaranya meninggi, wajahnya jadi kesal karena ketiga orang di depannya tak memercayai kata-katanya.