"Bu, Bapak mana?" Tanya Dodo setelah sampai di rumah dengan tergopoh-gopoh.
"Bapak ada di—"
"Dari mana saja kau?"
Deg
Suara bapak membuat sekujur tubuh Dodo menegang. Bulu kuduknya merinding hebat. Yang paling ditakuti olehnya adalah bapaknya. Dodo tak pernah mau berurusan lebih lama dengan bapaknya. Jika sedang diajak berbicara saja rasanya ingin cepat-cepat menyudahi pembicaraan tersebut. Rasanya setiap bapak mengajaknya bicara seperti ada sesuatu yang akan menghantam hati dan pikirannya. Meski tidak setegas bapaknya Albert, Dodo tetap lebih memandang bahwa bapaknya lah yang paling menakutkan. Apa lagi yang lebih seram dari tatapan seorang petani yang setiap hari terbebani mencari nafkah?
"Eh... Bapak," kata Dodo kaku. Matanya memandang bapaknya takut.
Si ibu langsung pergi ke dapur meninggalkan mereka berdua. Ibu tau bahwa bapak akan membicarakan hal yang tidak ingin didengar oleh siapapun kecuali mereka berdua.
"Kau, duduk."
Dodo perlahan duduk di kursi kayu yang warnanya sudah sangat kusam. Sangat terlihat bahwa kursi tersebut berusia puluhan tahun. Bisa jadi kursi-kursi yang berada di ruang tengah itu adalah warisan turun temurun agar menghemat biaya keluarga.
Dodo sama sekali tak berani menatap mata bapaknya. Ia hanya duduk diam sambil menunduk dan menyatukan kedua tangannya. Jemari itu saling meremas satu sama lain menandakan ketakutan yang luar biasa. Bapaknya hanya diam sambil memperhatikannya. Memilah kata apa yang tepat untuk anaknya yang suka kelewatan ini.
"Buat apa kau main berlama-lama di sana?"