1985
Heru dan Firman sore ini bermain perahu kecil yang terbuat dari daun-daun kelapa serta lidi yang diambil dari sapu yang ada di teras rumahnya. Mainan itu tentunya Albert yang buatkan. Entah kenapa dari pagi sampai siang Firman mengoceh meminta dibuatkan mainan perahu untuk dimainkan bersama Heru. Heru yang tak kuat mendengar tangis melengking adiknya itu langsung memohon pada kakaknya agar dibuatkan mainan perahu yang biasa kakaknya buat.
Jadilah sore ini Heru dan Firman duduk tenang di depan teras dengan bak air berukuran sedang yang berisi air. Di atas air terdapat dua buah mainan perahu. Perahu-perahu tersebut terlihat sangat keren. Semakin dewasa Albert ia semakin ahli membuat mainan dengan kualitas yang bagus.
Walau sudah duduk di bangku SD, Heru dan Firman memang masih senang bermain dengan mainan seperti itu. Karena tak mungkin meminta bapak mereka untuk membelikan mainan sungguhan yang terbuat dari plastik keras warna-warni yang dibuat di pabrik lalu dipasarkan ke toko-toko mainan di pinggir jalan, mereka akhirnya selalu meminta Albert untuk dibuatkan mainan dari berbagai jenis bahan yang bisa diambil dari hutan ataupun kebun di dekat rumah mereka.
Besar sudah tubuhnya sekarang. Tinggi, gagah, wajah yang tegas namun tampan, serta badan yang sedikit berotot karena sering membantu bapaknya di rumah. Albert sudah berusia 15 tahun dan kini ia sudah sangat berbeda dengan 5 tahun yang lalu. Saat badannya masih kecil, pendek, kurus, dan hitam keling akibat terlalu sering bermain di sawah.
Saat Albert naik ke bangku SMP, ia sudah jarang bermain dengan kawan-kawan sekolahnya. Namun dengan Dodo dan Udin masih sesekali bertemu. Dodo, Udin, dan Albert tidak lagi satu sekolah. Dodo masuk ke SMP Negeri favorit ketiga di Pemalang karena usaha dan tekad kuatnya untuk membanggakan kedua orang tuanya. Udin sekolah di SMP swasta dekat rumahnya karena nilainya tidak cukup untuk masuk SMP Negeri. Sedangkan Albert berhasil masuk SMP Negeri 2 Pemalang. SMP nomor satu yang terkenal bagus di kota itu.
Seiring berjalannya waktu Albert dan kedua kawan dekatnya itu hanya bisa bermain seminggu sekali di hari Minggu. Karena pekerjaan sekolah dan tanggung jawab di rumah bertambah, mereka menetapkan jadwal untuk bermain seminggu sekali. Kadang mereka pergi ke pasar malam, kadang ke alun-alun, kadang juga ke sungai untuk mengenang masa SD mereka. Semua tak terasa hingga mereka tiba pada masa yang paling labil yaitu masa-masa SMA.
Dodo dan Udin kembali bertemu di SMA yang sama, namun tidak dengan Albert. Albert lagi-lagi masuk ke SMA favorit yaitu SMA Negeri 1 Pemalang. Otaknya yang berkembang pesat itu memang selalu membawanya ke tempat-tempat terbaik. Walaupun Albert tak lagi satu sekolah dengan Dodo dan Udin, namun Albert kini satu sekolah dengan Tanti. Tanti ternyata juga memiliki otak yang jenius seperti Albert meski lebih jenius Albert tentunya.
Kala itu mereka bertemu setelah pengumuman penerimaan murid baru keluar. Tepatnya di malam hari. Mereka bertemu di alun-alun sembari makan nasi grombyang di salah satu kedai di pinggir jalan besar.
"Hebat sekali kau, Bert, bisa masuk SMA 1. Kenapa bisa otakmu sangat encer begitu? Sebenarnya setiap hari kau ini makan apa?" ujar Udin yang setelahnya melahap sesendok nasi grombyang hangat itu.
"Makan otak manusia."
"Hah?!" Udin kaget bukan main sampai sendoknya terpental entah ke mana.
Dodo langsung menjitak kepala Udin dengan cukup keras. "Bisa waras sedikit tidak? Albert sedang bercanda saja kau percayai. Ya ampun, kenapa aku memiliki kawan sepertimu?"