1999
Sore itu Albert tidak langsung pulang ke rumah. Setelah keluar dari gedung kantornya ia pun berjalan bersama juniornya untuk makan di pinggir jalan.
Sebenarnya Albert sudah menawarkan untuk makan di restoran, namun junior-juniornya memilih untuk ditraktir makan di kedai pinggir jalan. Albert tak dapat memaksa dan ia pun menyetujui keputusan juniornya. Dengan begitu jadilah Albert duduk di kursi panjang di dalam kedai kecil pinggir jalan.
“Pecel lele di sini sangat enak, Pak! Memangnya Bapak belum pernah ke sini?” Tanya salah satu juniornya.
Albert menggeleng. “Belum. Saya jarang makan di daerah sini. Lebih sering makan di kantin kantor atau di restoran dekat stasiun. Kalian sering makan di sini?”
“Sering, Pak!” Ujar junior perempuannya yang paling muda. “Kami sering makan di sini sebelum pulang ke rumah. Tapi akhir-akhir ini kami tidak bisa ke sini karena banyak kerjaan yang harus diselesaikan sampai larut malam. Waktu itu saat kami hendak mampir ke kedai ini, kedainya sudah tutup duluan.”
Albert terkekeh melihat tingkah juniornya yang lucu itu. Melihat bawahannya yang banyak bicara dan banyak bercanda membuat pikiran Albert sedikit tenang. Beban pekerjaan yang berat seakan menguap begitu saja saat junior-junior di hadapannya sekarang melontarkan lawakan mereka. Perlahan sebuah senyuman muncul di bibirnya. Lama-lama ikut tertawa. Lama-lama larut dalam suasana hangat sore hari di pinggir jalan.
Semua orang berpikir orang hebat seperti Albert pasti hidupnya enak. Tidak banyak pikiran. Jarang merasakan kesusahan. Selalu banyak uang yang tak orang lain punya. Semua orang hanya menilai dari apa yang mereka lihat secara sekilas. Hanya sekilas. Lagi pula apa pentingnya mencari tahu pribadi orang lain sampai ke akar-akarnya? Namun kadang kita juga membutuhkan hal seperti itu. Mencari tahu apa yang sebenarnya orang lain rasakan agar pandangan kita terhadapnya jauh lebih baik dari sebelum kita mengenalnya.
“Ini pesanannya,” ujar pemilik kedai yang tangannya sibuk membagikan piring-piring berisi ikan, nasi, sambal, dan beberapa sayur setengah direbus sebagai lalapan. “Minumnya apa, Pak? Bu?”
Setelah memesan minuman, mereka menyantap hidangan hangat yang ada di depan mereka. Lahap betul para pekerja yang kelelahan akibat banyak berpikir di kantor itu. Tidak membutuhkan 10 menit, beberapa sudah ada yang menghabiskan makanannya. Dan yang cepat menghabiskan makanan itu tentunya para lelaki. Kecepatan laki-laki dalam memakan sesuatu memang tiada tanding, apalagi jika makanannya nikmat.
“Kalian pulang naik apa?” Tanya Albert pada juniornya setelah mereka keluar dari kedai itu.
“Biasa, Pak. Ada yang naik motor, ada yang naik kereta,” jawab salah satu di antaranya.