2000
Pagi itu tampak kacau. Semua orang di kantor seperti dikejar setan. Semua kalang kabut. Berjalan ke sana ke mari sambil membawa map berisikan berkas-berkas penting. Bolak-balik dari lantai bawah ke lantai atas sambil menelepon koleganya seraya membicarakan hal serupa. Mengacak-acak rambut gusar seraya berharap semua kepanikan ini segera usai.
Kondisi kantor pagi ini sangat kacau. Saya
“Data yang tadi sudah kau kirim ke Pak Albert?” Ujar Oman dengan wajah mengerutnya.
“Hah? Data yang mana?” Tanya Dipo.
“Data yang tadi! Yang kutaruh di atas mejamu,” jawab Oman sedikit emosi. “Tadi sudah kukatakan padamu untuk memeriksanya kembali. Sekarang kau ke manakan data itu?”
“Oh yang tadi?! Aku lupa mengambilnya lagi setelah di fotokopi,” sahut Dipo yang juga sibuk dengan ini itu. Kemudian ia memanggil kawannya yang lain dengan wajah kusutnya, “Hanif! Tolong periksa jadwal kita besok. Atur pertemuan dengan pihak iklan. Ubah jadwal sebaik mungkin, pindahkan acara penggalangan ke pagi hari.”
“Siap!”
Kantor sangat berantakan. Semua bertebaran di mana-mana. Kertas-kertas pun berjatuhan. Map penting dan tidak penting campur aduk jadi satu di atas meja-meja karyawan.
Salah seorang karyawati diperbolehkan pulang duluan karena harus menjemput anaknya pulang sekolah. Oman yang mengetahui hal itu langsung menghampiri karyawati tersebut yang sedang membereskan mejanya. Wajah Oman sudah mewakili seluruh kepenatannya pagi ini.
“Mau ke mana, kau?”
Seketika Ela menoleh dan menghentikan aktivitas membereskan mejanya sejenak. Semua orang yang ada di ruangan itu langsung menoleh ke arah Oman dan Ela. Mereka seperti tahu apa yang akan terjadi jika suara Oman sudah terdengar seram seperti itu.
“Pulang. Aku harus menjemput anakku karena pembantuku hari ini tidak bisa menjemputnya.”
“Apa harus kau yang menjemputnya? Dengan keadaan seperti ini? Kantor sedang membutuhkan banyak tangan, La. Tidak bisakah kau menyuruh salah satu saudaramu untuk menjemputnya? Kau harus mengirim berkas yang baru saja kuselesaikan pada pihak sponsor.”
Ela menatap Oman dengan tatapan tidak percaya.
“Aku sudah izin pada Pak Albert. Beliau mengizinkanku. Kenapa jadi kau yang repot?”
“Meski begitu kau juga ada tanggung jawab yang harus kau selesaikan! Bukannya main kabur begitu saja,” ujar Oman dengan intonasi yang meninggi.
“Hei Oman, jaga ucapanmu! Siapa yang akan menjemput anakku kalau aku tetap di sini? Semua saudaraku di luar kota. Dan lagi, apa tadi katamu? Aku kabur begitu saja? Aku ini sudah izin pada Pak Albert! Kau ini, ya, memang tak punya perasaan sama sekali!”